Jumat, 16 Oktober 2009

gambarkita BTI ACH

ll

Makam Tengku Di Bitai

Monday, 09/04/2007 - 11:05 WIB

Photo by: Onik

Komplek makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan komplek Tengku Di Bitai, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Luas areal 500 m2. Komplek makam berada ditengah-tengah perkampungan dan disekitar makam itu terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki dengan status tanah wakaf.

Bitai adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muhadis dan Turki. Semula para ulama bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di perguruan tinggi. Perkembangan Islam di Bitai sangat termasyur (maju) karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaran ya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi. (dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.

Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28 (Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.

Raja dan keluarganya Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai.

Jumlah makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.

Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Tukri dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.

Menelusuri Silsilah
KETURUNAN TURKIYE DI BITAI
SAMPAI DENGAN TERAKHIR HASBI & LUQMAN

1. Syakir Jundi Istambul Turkiya
2. Muhammad Jamil Ghazi bin Syakir Jundi Istambul รข€“ Turkiya
3. Abdul Aziz Ghazi bin Muhammad Jamil
4. Saidam Ghazi bin Abdul Aziz Ghazi
5. Sirikhu Ghazi bin Saidam Ghazi
6. Muhammad Shaleh Ghazi bin Sirikhu Ghazi
7. Ilyas Ghazi bin Muhammad Shaleh Ghazi
8. Ishak Ghazi bin Ilyas Ghazi
9. Ahmad Ghazi bin Ishak Ghazi
10. Rustam Ghazi bin Ahmad Ghazi
11. Basyah Ghazi bin Rustam Ghazi
12. Rauf Ghazi bin Basyah Ghazi
13. Mustafa Ghazi bin Rauf Ghazi
14. Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi ( yang pertama datang ke Aceh / Bitai dan kemudian dikenal dengan nama Tengku Syiek Tuan Di Bitai)
15. Jalal Basyar Ghazi bin Muthablib Ghazi
16. Ismail Ghazi bin Jalal Basyar Ghazi
17. Harun Ghazi bin Ismail Ghazi
18. Abdul Jalal bin Harun Ghazi
19. Abdullah Tamim Ghazi bin Abdul Jalal Ghazi
20. Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi
21. Syeik Abdurrahman bin Faqih Sri Raja Faqih
22. Syeik Ismail bin Syeik Abdurrahman
23. Tengku H. Abdul Aziz bin Syeik Ismail
24. Tengku H. Muhammad Junaid bin Tengku H. Abdul Aziz
25. Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juanid. (wafat pada tahun 1987 M)
26. Hasbi bin Tgk. Razali dan Luqman bin Tgk. H. Razali


BTI pengaruhi cnd
Mempengaruhi Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien tidak asing lagi bagi Teungku Fakinah, sejak perang di Aceh Besar berkecamuk, Beliau sudah dikenal baik dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam pertarungan mereka di Montasik, Lamsi maupun ketika kedatangan Cut Nyak Dhien ke Lam Krak senantiasa mampir ke rumah Teungku Fakinah, untuk beramah tamah dan meminta bantuan perbekalan perang bagi pengikut-¬pengikut Teuku Umar. Dalam hal ini Teungku Fakinah selalu memberikan bantuan berupa beras, kain hitam dan uang tunai. Dan sebaliknya Teungku Fakinah sering juga datang ke rumah Cut Nyak Dhien di Lampadang/Bitai dan tempat-tempat lain di mana Cut Nyak Dhien tinggal. Dengan demikian perjuangan kedua wanita satria ini sangat erat hubungannya. Oleh sebab itu Teungku Fakinah sangat terkejut ketika mendengarkan T. Umar telah membelot dan bergabung dengan pihak Belanda Lalu Teungku Fakinah bertanya¬-tanya dalam hatinya, apakah Cut Nyak -Dhien juga ikut membelot ataukah T. Umar sendiri. Jika T. Umar sendiri mengapa Cut Nyak Dhien tidak menahan maksud suaminya itu agar tidak bergabung dengan musuh. Demikian pertanyaan itu terpendam dalam hatinya. Teungku Fakinah memikirkan untuk mengirimkan utusan kepada Cut Nyak Dhien untuk menanyakan isi hati dari rekannya itu, namun belum ada seorang wanita pun yang berani pergi ke Peukan Bada untuk bertemu langsung dengan Cut Nyak Dhien.

Sementara itu tersiar berita bahwa T. Umar sedang bergerak bersama serdadu Belanda menyerang Kuta Tungkop dan tempat pertahanan daerah XXVI Mukim, yang kemudian akan menyerang daerah pertahanan Teungku Fakinah yang terletak di Ulee Tanoh. Untuk mengantisipasi masalah ini maka segera dibangun tiga buah kuta (benteng) yaitu Cot Pring, Cot Raja, dan Cot Ukam. Kemudian itu datang dua orang wanita dari Bitai mengantar nazarnya untuk perang sabil, bahkan sumbangan yang diserahkan kepada Teungku Fakinah bukan hanya dua orang saja tetapi ada kiriman dan beberapa orang lainnya dari Bitai dan Peukan Bada.
Melalui ke 2 orang wanita Bitai itu Teungku Fakinah mengirim salamnya kepada Cut Nyak Dhien selaku rekan lamanya, dengan menyampaikan beberapa kata sindiran sebagai ceumeti yang menusuk dada Cut Nyak Dhien, dengan kata-kata :
"Peugah bak Cut Nyak Dhien haba lon : Yu Jak beureujang lakoe gagnyan Teuku Meulaboh, jak prang inong-inong balee mangat jikalon ceubeuh lee gob, bah agam lawan inong balee".

Artinya : sampaikan kata saya kepada Cut Nyak Dhien ; suruh datang suaminya Teuku Meulaboh untuk berperang dengan perempuan-perempuan janda supaya orang dapat melihat keberaniannya, bahwa laki-laki melawan wanita janda.
Setelah cukup pembicaraan dengan kedua wanita Bitai itu, maka kedua wanita ini terus pulang sampai ke kampungnya, tetapi tidak langsung menyampaikan kabar itu kepada Cut Nyak Dhien, melainkan memberitahukan kepada wanita lain yang dipercayanya dan sering masuk ke rumah Cut Nyak Dhien. Setelah mendengar kabar ini, Cut Nyak Dhien sangat cemas hatinya, kemudian disunth panggil kedua wanita Bitai itu melalui wanita kepercayaannya untuk bertemu langsung denganya
Dalam hal ini kedua wanita itu tidak mau datang takut ditangkap, selama dua hari di tunggu-tunggu oleh Cut Nyak Dhien, mereka tidak kunjung datang. Secara diam-diam Cut Nyak Dhien datang ke Bitai untuk menemui kedua wanita itu, namun kedua wanita tersebut telah bersembunyi di rumah yang lain. Lalu Cut Nyak Dhien menyampaikan pesan pada wanita lain bahwa dia perlu bantuan kedua wanita itu untuk menyampaikan kabar balik ke Lam Krak, yang merupakan kabar balasan dari Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah.

Maka besok paginya datanglah kedua wanita itu ke rumah Cut Nyak Dhien dan keduanya diterima dengan ramah tamah. Diserambi belakang mereka duduk bertiga membicarakan khabar yang dibawa dari Lam Krak, kemudian ke dua wanita itu disuruh balik ke Lam Krak untuk bertemu dengan Teungku Fakinah dengan membawa kabar balasan yang disertai dengan bungong jaroe yaitu; 2 kayu kain hitam untuk celana, 6 potong selendang, 1 kayu kain untuk baju prajurit wanita dan 1 potong kain selimut untuk selimut Teungku Fakinah sendiri, serta uang 200 real untuk pembeli kapur dan sirih.

Besok paginya berangkatlah kedua wanita itu dari Bitai menuju Lam Krak. Satu orang menjunjung sumpit yang berisikan beras dan yang satu lagi menjunjung satu berkas tikar mensiang yang berisikan barang-barang kiriman Cut Nyak Dhien kepada Teungku Fakinah di Lam Krak.

Sesampainya di Lam Krak kedua wanita ini, langsung bertemu dengan Teungku Fakinah, dan menyerahkan barang amanah itu. Dalam pertemuan itu juga, disampaikan pula salam dan pesan-¬pesan Cut Nyak Dhien yang isinya "Atee Cut Nyak Dhien mantong lagee soet, lon inseuh keulangkah lakoe lon yang kameuseuruek. Hubungan lidah Nyak Faki nyoe ngon lon yang neuba lee droe neuh mudah-mudahan Tuhan puwoe langkah kamoe lagee soet". Artinya "Hati Cut Nyak Dhien seperti semula, saya beri keinsyafan terhadap langkah suami saya yang telah berperosok. Hubungan lidah Nyak Fakinah ini dengan saya yang saudara bawa mudah-mudahan Tuhan kembalikan langkah kami seperti semula.

Demikianlah kata filsafat dalam pertemuan diplomatik antara kedua pengantar kata, dari hati ke hati antara dua orang Srikandi ulung Pahlawan Tanah air yakni Teungku Fakinah dari Lam Krak dan Cut Nyak Dhien dari Lam Pisang.




aaaSerambi Indonesia, 10 Februari 2006
Turki Pangkas Kontrak Rumah Waskita 500 Unit
Sub Kontraktor Hentikan Pekerjaan
BANDA ACEH - Bulan Sabit Merah Turki akhirnya membatalkan kontrak 500 unit rumah dengan PT Waskita Karya, sebuah badan usaha milik negara yang sudah di-blcklist oleh BRR. Keputusan itu diambil PT Waskita belum mampu menyelesaikan satu unit pun rumah yang diborongnya. Demikian dikatakan Dirut PT Meidiatama Indokonsultant, Ir Nazaruddin, Konsultan Pengawas Pembangunan Bantuan Rumah Turki kepada Serambi, Kamis kemarin.
Dikatakan, pemangkasan 500 unit rumah itu dilakukan Wakil Ketua Bulan Sabit Merah Turki, Dr Nihat Kaya, saat berkunjung ke Banda Aceh, 26 Januari 2006 lalu. Nihat Kaya, kabarnya sangat kecewa ketika melihat dua titik lokasi pembangunan rumah Turki di Kemukiman Lampuuk, Aceh Besar, dan Desa Bitai, Banda Aceh, tidak punya kemajuan berarti. Mengutip pernyataan Wakil Direktur Turkish Res Crescent Society itu, Nazaruddin mengatakan, pengurangan borongan itu dilakukan karena PT Waskita Karya dinilai tak mampu menampakkan kinerja yang bagus. Mengutip kata Nihat Kaya saat bertemu Direksi PT Waskita Karya, kehadiran Turki ke Aceh murni untuk membantu masyarakat yang tertimpa musibah besar. Karena itu, kata Nihat Kaya saat itu seperti dikutip Nazaruddin, Turji berharap bantuan rumah 1.050 unit bisa secepatnya direalisir. Tapi karena sampai peringatan 1 tahun tsunami pada tanggal 26 Desember 2005 lalu, PT Waskita belum juga bisa membuat satu unit rumah pun, Turki amat kecewa.
Konsultan Pengawas Rumah Turki itu mengatakan, banyak sebab yang membuat PT Waskita Karya belum mampu memberikan hasil terbaiknya kepada Bulan Sabit Merah Turki. Antara lain, setelah menerima kontrak dari Turki, mereka lalai dengan kewajibannya. PT Waskita Karya, duga Nazar, asyik dengan kegiatan sub-sub rumahnya, sehingga ia lupa dengan kewajiban untuk mempercepat penyelesaian pembangunan. Pada awal penandatangan kontrak dengan Turki, ungkap Nazar, untuk melaksanakan pembangunan rumah Turki sebanyak 1.050 unit itu, PT Waskita Karya bekerjasama dengan PT Almahdali dari Kota Lhokseumawe. Almahdali diberikan untuk mengerjakan 315 unit rumah dengan harga Rp 82 juta/unit, dari 1.050 unit yang diborongnya dari Turki. Tapi untuk pengusaha lokal, PT Waskita Karya memborongkannya dengan harga Rp 68 juta/unit.
Fahrul, Hasbi, Zulkarnaen, tiga orang dari enam sub kontraktor yang mengerjakan rumah Turki di Desa Bitai kepada Serambi mengungkapkan, pihaknya mau menerima pekerjaan rumah Turki dengan harga Rp 68 juta/unit, karena belum tahu spek rumah yang sesungguhnya. Waktu memberikan sub, PT Waskita Karya hanya memperlihatkan gambar, tidak memperlihatkan spek yang dituntut oleh pihak Turki. Spek rumah Turki itu baru diketahui, ungkap Fahrur, setelah konsultan pengawas rumah Turki, PT Mediatama menegur dan menunjukkan bahwa pekerjaan rumah yang kami lakukan belum sesuai speknya.” Setelah mengetahui itu, kami minta harga borongan rumah ditambah sampai harga Rp 80 juta/unit, jika tidak pekerjaan kami hentikan, dan minta ganti rugi atas pekerjaan yang telah dikerjakan,” ujar ketiga sub kontraktor itu.
Sekretaris BRR NAD dan Nias, Ramli Ibrahim mengatakan, sanksi yang diberikan Ketua BRR kepada PT Waskita Karya itu dasarnya sangat kuat, yakni kecewanya Turki kepada kinerja BUMN itu.” Sanksi ini akan menjadi pelajaran bagi BUMN lainnya dan kontraktor luar maupun lokal yang menerima pekerjaan rehab dan rekon dari BRR maupun pihak asing, tapi tidak melaksanakannya dengan serius,” ujar Ramli Kalangan dunia usaha di Aceh sangat terkejutmendengar PT Waskita Karya memborongkan rumah bantuan Turki tipe 45 plus kepada pengusaha lokal dengan harga Rp 68 juta/unit.
“Harga itu sangat rendah dan tidak mungkin pengusaha lokal bisa mengerjakannya sesuai spek standar yang diminta negara donor tersebut,” ujar Ketua Kadin NAD, Firmandez melalui Ketua Kompartemen Konstruksi Kadin NAD, Muhammad Mada kepada Serambi, Rabu kemarin ketika dimintai tanggapannya. Ketua Gepensi NAD, Lukman CM mengatakan, pihaknya sangat prihatin dengan kondisi yang dialami pengusaha lokal yang menerima pekerjaan bantuan rumah Turki tersebut. PT Waskita Karya sebagai BUMN harusnya bisa menjadi pengayom pengusaha di Aceh. Gapensi NAD sangat mendukung kebijakan yang diambil PT Waskita Karya dengan melibatkan kontraktor lokal untuk pelaksanaan pembangunan 1.050 unit rumah bantuan Turki tersebut.” Komitmen itu juga yang membuat PT Waskita Karya bisa menjadi pemenang dalam tender bantuan rumah Turki itu,” ujar Sekretaris Gapensi NAD,” T Alaidinsyah.(her)

Toedjoeh Koeli Djawa di Tanah Rentjong


Ribuan kuli didatangkan dari tanah Jawa untuk membangun rumah dan infrastruktur di Aceh. Tak sedikit yang ditipu pemborong, dan memilih pulang ke kampung. Tapi sebagian bernasib baik dan berniat tinggal lebih lama.

Pulang ke Bedeng

TELEPON berdering di rumah Muslikun di Dusun Tirem. Senin siang menjelang akhir Maret lalu itu, banyak warga dusun yang berada di Kecamatan Mbrati, Grobogan, Jawa Tengah, sedang sibuk di ladang. Muslikun memilih beristirahat di rumah.

Belum ada sepekan bapak dua anak itu berada di kampung halamannya. Selama berbilang bulan sebelumnya, Muslikun banting tulang di kota metropolitan Jakarta jadi tukang batu dan kuli bangunan. Sedangkan anaknya yang kedua menjadi buruh konveksi di Pejagalan, Jakarta Utara.

Dusun Tirem bukan daerah kaya sumberdaya alam. Tak banyak aktivitas ekonomi yang berkembang di sana. Sebagian muda-mudinya mengadu nasib ke kota-kota besar di Jawa macam Semarang, Surabaya, atau Jakarta. Sedangkan yang berada di kampung umumnya orang bekerja sebagai petani di ladang. Namun kebanyakan sawah yang digarap bukan milik mereka sendiri. Di sana lapangan pekerjaan sedikit. Untuk mendapatkan uang Rp 1 juta dalam tempo cepat jelas bukan perkara gampang.

“Muslikun, kamu mau berangkat ke Aceh ndak?” kata lelaki di ujung telepon yang lain.

Lelaki itu tetangga dan sahabat Muslikun di Dusun Tirem, namanya Marzuki. Dia sudah beberapa hari berada di Banda Aceh. Bersama rombongan yang berangkat lebih dulu. Kerjanya menjadi kuli bangunan untuk proyek pemukiman korban tsunami.

“Kalau kamu ndak kerja, kamu ndak punya modal. Ngapain kamu di kampung?” lanjut Marzuki.

Kepada sahabatnya, Marzuki menguraikan pengalaman nikmatnya jadi kuli di daerah yang porak-poranda gara-gara bencana alam itu. Jika memilih menjadi tukang, honor bersih sehari Rp 45 ribu sudah masuk kantong. Ada lemburan hingga jam 10 malam. Saban lembur dihitung sehari. Jadi dalam sehari kerja, dari pagi hingga malam, sudah bisa mengantongi uang Rp 90 ribu.

Mendengar cerita Marzuki, benak Muslikun segera membayangkan bakal kerja enak di Aceh. Bak kalkulator, otaknya segera menghitung berapa duit yang bisa didapat dalam sebulan kerja: Rp 2,7 juta. Nilai yang belum pernah didapat selama sebulan peras keringat jadi kuli bangunan di Pulo Gadung, Slipi, Cililitan, Grogol, atau Bintaro saat dia di Jakarta.

“Iya, aku mau ke sana.” Muslikun segera menyambar tawaran Marzuki.

Usai percakapan, dia segera mengundang beberapa tetangga di Dusun Tirem berkumpul ke rumahnya. Agenda utamanya soal tawaran Marzuki, menjadi kuli di Aceh. Termasuk janji-janji duit yang bakal diterima. Sebanyak 14 orang datang ke rumah Muslikun. Beberapa tetangga yang hadir antara lain Ahmad, Sulipin, Sumali, Parjono, Rohmat dan Maftuhin. Sulipin peserta rapat yang paling muda, usianya belum genap 20.

Musyawarah hari itu mencapai kebulatan suara: cari duit, menyusul Marzuki menjadi kuli di negeri serambi. Namun butir hasil kesepakatan lainnya, tiap orang mesti menyediakan ongkos dan tiket pesawat. Sedikitnya Rp 1 juta per orang.

“Saya terpaksa gadaikan BPKB motor bebek saya untuk ongkos,” aku Muslikun kepada saya. Dia merasa beruntung masih bisa menabung selama jadi kuli di Jakarta. Surat kepemilikan kendaraan itu dihargai Rp 1,5 juta. Sebanyak satu juta digunakan buat ongkos berangkat ke Aceh. Sisanya untuk keluarga di rumah selama ia tinggalkan.

“Kalau saya terpaksa pinjam duit di bank BRI,” timpal Ahmad. Harta milik bapak beranak empat ini jadi jaminan untuk mendapat pinjaman.

Parjono menempuh cara lain, “Saya keliling cari pinjaman ke teman-teman tetangga.”

Cara-cara pengumpulan duit yang mirip juga dilakukan Sulipin, Maftuhin, Rohmat, dan Sumali. Ongkos beres. Perbekalan disiapkan. Selang tiga hari setelah rapat di rumah Muslikun, hari Kamis mereka berangkat, naik bus dari terminal bus Purwodadi tujuan Jakarta. Jumat ketujuh lelaki itu tiba di Jakarta. Ongkos mereka mepet untuk beli tiket pesawat.

“Kami numpang menginap semalam di rumah teman, dan cari pinjaman ke teman-teman di Jakarta,” tutur Sumali. Nasib mereka mujur, bantuan pinjaman segera diperoleh. Sabtu pagi di awal April 2006, mereka berangkat dari Cengkareng menumpang pesawat Lion Air.

BAYANGAN bakal kerja enak, ada lemburan dan gajian lancar dibayar pupus begitu tiga pekan bekerja di PT BJM, sebuah subkontraktor lokal yang membangun pemukiman korban tsunami di daerah Bitai, Banda Aceh. Janji honor bakal dibayar tiap dua pekan pada hari Selasa, molor.

“Mundur terus. Kata orang BJM dimundurkan jadi Jumat. Pas hari Jumat, bilangnya Selasa. Selasa-Jumat, begitu terus,” ungkap Ahmad.

Parjono menimpali, “Memang dapat makan. Tapi gaji kami ndak dibayar.”

“Rombongan kami tidak ada yang dibayar. Saya mandornya di BJM. Sebelum terlalu banyak persoalannya di situ, saya dan teman-teman langsung kabur dari situ,” Muslikun menambahkan.

Kendati ada surat perjanjian hitam di atas putih, itu tidak menjamin para kuli bangunan itu bakal menerima haknya sesuai yang dijanjikan dalam kontrak.

“Saya langsung sobek-sobek. Saya jengkel, buat apa (surat perjanjian) itu…” Dahi Muslikun berkerut. Alisnya naik.

Tujuh kuli itu pun memilih angkat kaki dari bedeng tempat mereka menginap ketimbang dipaksa bekerja sukarela tanpa bayaran. “Kami merasa dibohongi,” sambung dia.

Soal subkontraktor ‘nakal’ ini juga dikeluhkan Syaiful. Dia kepala tukang alias mandor proyek yang saya temui saat mengerjakan proyek pembangunan tepi pembatas jalan di ruas jalan Lampeneureut, Aceh Besar.

Meski sama-sama orang Aceh, tidak berarti tidak bakal berlaku curang ketika mendapat proyek. Bersama beberapa anak buahnya, Syaiful juga tengah menyelesaikan beberapa unit rumah bantuan.

Dia menguraikan modus yang jamak dilakukan, “Jika pemborong A dapat proyek, dia akan cari sub lagi. Lalu kasih tawaran harga proyek lebih rendah dari yang dia dapat sebelumnya ke pemborong B. Ujung-ujungnya honor yang di bawah sampai ke kuli jadi ikut rendah. Padahal kebutuhan hidup di Aceh sudah makin mahal. Makanya saya tidak mau menerima tawaran kalau harga penyelesaian per unitnya sudah di bawah standar.”

Menurut Syaiful yang lahir di Banda Aceh, untuk harga standar penyelesaian satu unit rumah senilai Rp 15 juta. Namun angka itu masih bisa ditawar hingga ke Rp 12 juta. Di bawah itu, lanjut dia, sangat sulit memberi kesejahteraan yang layak bagi para kuli.

“Tapi ada kontraktor dari Medan atau dari Jawa yang berani memasang harga Rp 8 juta. Kulinya diambil dari Jawa. Mereka pikir biaya hidup di Aceh sama dengan di Jawa, yang sepiring nasi bisa dapat Rp 3.000?”

Hendra, mandor yang saya temui di Lampuuk, Aceh Besar, mengiyakan modus-modus pemborong curang. Itu sebabnya, buat menjamin kesejahteraan anak buahnya yang umumnya orang Jawa kelahiran Medan, Hendra selalu meminta surat perjanjian, lengkap dengan alamat terang masing-masing pihak.

“Biar jelas. Kalau ada apa-apa masing-masing bisa menuntut,” katanya.

Rupa-rupanya Muslikun dan kawan-kawan jadi korban kontraktor nekat. Tapi tujuh kuli itu tidak mengenal kata menyerah. Mereka segera melamar ke Waskita Karya, kontraktor pelat merah yang membangun pemukiman atas biaya Turkish Red Cross Society.

Kontraktor itu memang tengah membutuhkan banyak kuli bangunan. Pasalnya, mereka mendapat proyek miliaran rupiah untuk membangun ratusan unit rumah. Di Bitai, Banda Aceh, sebanyak 350 unit rumah tipe 45. Total anggarannya lebih dari 30 miliar. Sedangkan di Lampuuk, Aceh Besar, sebanyak 200 unit rumah dengan tipe yang sama. Anggarannya sama-sama bersumber dari Turkish Red Cross Society. Sedangkan kulinya, umumnya berasal dari tanah Jawa. Seperti juga tujuh kuli itu yang akhirnya diterima Waskita dan bekerja di Bitai.

LAMPUUK adalah satu dari ratusan kampung yang paling parah terkena bencana tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Ratusan rumah rata tanah, kecuali Masjid Rahmatullah yang memiliki tiang dan pondasi yang kokoh. Gampong ini terletak menjorok sekitar 1 kilometer dari pantai.

Ketika saya mengunjungi kawasan itu pekan lalu, ada ratusan pekerja yang tengah membangun rumah tipe 45. Di situ, rencananya bakal dibangun sebanyak 700 unit. Kontraktornya Waskita Karya. Yang sudah selesai sekitar 200 unit, sisanya masih dikerjakan subkontraktor Waskita. Mereka kontraktor kelas menengah yang berada di Aceh dan Medan.

Tapi di sini, seperti juga di Bitai, jumlah kuli Jawa mencapai ratusan. Bahkan mencapai ribuan. Mereka tinggal di bedeng-bedeng. Waskita sengaja memilih kuli dari Jawa. Mereka punya alasan sendiri untuk mendatangkan secara khusus kuli-kuli asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, hingga Jawa Barat.

“Pertama karena kemauan kerja. Mereka lebih bisa dipacu, karena mereka kan kerja di rantau. Kalau yang lokal, mereka kan bisa cepat pulang setelah bekerja, apa yang bisa dipacu. Kedua karena ketrampilan mereka sedikit di atas daripada orang lokal,” terang Muchdir Arrys kepada saya. Muchdir kepala lapangan Waskita Karya untuk proyek pemukiman di Lampuuk.

Untuk pembangunan di Lampuuk Waskita mendatangkan sebanyak 400 kuli dari berbagai daerah di Jawa, seperti Demak, Semarang, Purwakarta, atau Surabaya. Sedangkan di Bitai lebih banyak lagi, jumlahnya mencapai dari 1.500 orang. sebagian mereka secara bertahap dipulangkan begitu target unit rumah dipenuhi.

“Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan orang lokal. Kami juga mempekerjakan orang lokal kok.”

Bukan hanya Waskita yang mengirim kuli dari Jawa untuk proyek di Lampuuk. Ada beberapa kontraktor di Lampuuk yang juga mempekerjakan kuli Jawa. Bedanya, kuli-kuli itu didatangkan tapi Medan, Sumatera Utara.

Kendati berbilang tahun lahir dan hidup di Medan, nenek moyang mereka dari Jawa. Seperti Marsidi, 36 tahun, yang bekerja di PT Kuala Batee Ind. Orangtuanya, Marsono, asli Wonosobo, Jawa Tengah. Di Medan mereka bekerja sebagai buruh tani. Namun penghasilan buruh tani rendah. Itu sebabnya Marsidi mengangguk saja ketika ada tawaran dari temannya untuk bekerja di Aceh.

Begitu pula Priadi, 19 tahun. Nenek, kakek hingga paman dan bibi pemuda yang baru lulus SMA Soetomo Medan ini berada di Ponorogo, Jawa Timur.

Ketika saya berkeliling di Lampuuk menjelang senja, kuli Jawa yang lahir dan besar di Medan ini banyak yang masih tetap menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi.

Kala berkumpul dan beristirahat, kawasan Lampuuk tak ubahnya perkampungan orang Jawa. Mereka tinggal di bedeng-bedeng berdinding anyaman kulit rumbia, beratap seng. Yang paling bagus berdinding tripleks. Namun karena beratap seng, di waktu siang terik matahari bakal ‘merebus’ siapapun yang berada dalam bangunan itu.

Bedeng-bedeng itu diberi sekat untuk membatasi ruangan berukuran sekitar 6×4 meter. Tiap ruangan isinya berbeda. Tapi ada yang mencapai 20 orang, seperti yang dihuni Marsidi. Di situ, aneka pakaian, celana, handuk, digantung sekenanya di sekeliling dinding.

“Kalau tidur, ya jempol jumpa jempol,” Marsidi terkekeh. Belum keringat beradu keringat, pikir saya.

Muslikun dan enam rekannya juga merasakan kondisi yang sama di Bitai. Baru beberapa hari ini ketujuh kuli itu memilih pindah dari bedeng ke rumah yang hampir selesai dibangun. Alasannya bedeng mereka terlalu banyak orang, selain karena jaraknya lumayan jauh dari tempat kerja.

Meski berada di bangunan yang lebih baik, mereka bertujuh tetap tidur dengan alas seadanya. Seperti tikar, tripleks, terpal, maupun kardus bekas. Ketika malam datang, yang ada cuma gelap. Letak warung cukup jauh dari tempat mereka menginap. Jika mereka lapar, maka terpaksa masak sendiri ketimbang ke warung makan.

Program dan disiplin hemat pun terpaksa mereka jalankan. Alasannya, ongkos berangkat ke Aceh yang dihimpun dari dana utangan sana-sini belum sepenuhnya lunas. Itu sebabnya, meski hari Minggu atau hari libur mereka tetap bekerja.

“Kalau libur ya rugi. Kalau ndak sakit, ya lebih baik kerja saja. Buat apa libur, sudah datang jauh-jauh, ya rugi tho,” kata Muslikun.

“Utang saya sama teman-teman di kampung masih belum terbayar,” timpal Parjono.

Mereka benar-benar bekerja ‘rodi’, seperti kuli kontrak Jawa di masa penjajahan Belanda. Bedanya, mereka memaksa bekerja agar makin banyak uang yang didapat.

‘Kalau di Waskita sudah tidak ada kerja, kita mau cari di tempat lain. Rencananya mau Lebaran baru kami pulang ke Jawa, setelah duit terkumpul,” sela Muslikun.

TAHUN 1863, kapal Josephine melego jangkar di pelabuhan Sumatra Timur. Kapal itu mengangkut ratusan kuli kontrak asal Jawa yang didatangkan Jacobus Nienhuijs. Dia pengusaha Belanda yang mendirikan perkebunan tembakau di Deli.

Keharuman tembakau Deli sudah sohor di pasaran Eropa. Nienhuijs, dan tuan kebun macam dia berencana memperluas lahan kebunnya agar produksi tembakau Deli bertambah dan menghasilkan keuntungan berlipat.

Semula Nienhuijs hanya memakai tenaga orang Cina dari Penang yang disebut laukeh. Lalu ditambah dengan tenaga puluhan kuli harian asal Melayu dan Cina.

Namun belakangan Pemerintah Tiongkok makin mempersulit buruhnya ke Deli. Sementara itu, Pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di Penang dan Singapura tetap memasok tenaga ini ke Deli, dengan tipuan hendak mempekerjakan mereka di Johor.

Tapi penduduk setempat, orang Melayu dan Karo yang akan dipakai tenaganya dianggap tidak cocok karena suka melawan.

“Tenaga kuli bangsa-bangsa Sumatera tidak laku dan tidak diterima di Deli, sebab mereka tidak patuh dan taat seperti kuli-kuli kontrak Jawa. Begitu pula mereka meminta gaji lebih dari kuli-kuli Jawa. Jika kuli-kuli Jawa tidak mau bekerja, mereka akan dimasukkan dalam penjara, siapa yang membantu mereka untuk lari akan dikenakan hukuman juga,” kata Nienhuijs dalam Oos-Indische Spiegel, halaman 346-7 Amsterdam, Querido, 1876.

Tahun 1889, muncul istilah resmi Koelie-Ordonnantie atau Contract-Koelie yang disebut juga kuli kontrak. Aturan ini hanya berlaku bagi kuli asal luar negeri (Cina dan Tamil), serta orang Indonesia dari luar Sumatera Timur. Karena itu jumlah kuli asal Jawa terus bertambah setelah Nienhuijs membawa mereka ke Deli. Jumlah mereka kemudian mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil.

Istilah “koelie” diperkirakan berasal dari bahasa Inggris cooli yang mengadopsi kata kuli dari bahasa Tamil yang artinya orang upahan untuk pekerjaan kasar. Sedangkan kuli kontrak merupakan sebutan bagi orang-orang miskin di Jawa yang kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja. Tapi tetap hidup menderita, seperti di Deli, Sumatra. Dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra’s Plantation Belt 1870-1979, Ann Laura Stoler menyebut para kuli tak ubahnya hewan!.

“Kuli adalah binatang yang harus dijinakkan, karena kuli adalah modern slavery.”

Tahun 1926, kendati komoditas tembakau beralih ke karet, kuli kontrak laki-laki Jawa terus bertambah hingga berjumlah 142.000 orang, sedangkan buruh wanita Jawa 52.400 orang. Sedangkan menurut catatan Belanda lainnya, pada tahun 1920 jumlah orang Jawa di Sumatra Timur sebanyak 353.551 orang, melebihi jumlah orang Melayu yang tercatat 285.553 orang.

Mereka hidup di bedeng-bedeng seadanya. Tidak sedikit yang mengalami penyiksaan. Di perkebunan juga kerap terjadi perkelahian pemberontakan hingga pembunuhan. Tapi kuli-kuli Jawa terus beranak-pinak hingga abad milenium.

SENJA turun di Lampuuk, Minggu awal Juni lalu. Pertanda gelap bakal menyelimuti perkampungan kuli di Lampuuk. Saya mendengar dentam suara house music di beberapa bilik warung berdinding anyaman kulit rumbia ketika menyusuri jalan untuk kembali ke Banda Aceh.

Sebagian warung sudah memasang TV dan memacak antena parabola menyambut laga kesebelasan unggulan dalam Piala Dunia di Jerman. Siaran itu menjadi pengobat lelah bagi ratusan kuli ketika malam. Tapi tontonan itu baru bisa disaksikan bada salat isya.

“Sejak magrib sampai isya, tidak ada warung yang buka. Setelah itu baru ada tontonan bola,” kata Hendra, mandor kuli.

Sebaliknya di Bitai, ketujuh asal tanah Jawa tak banyak menikmati gempita Piala Dunia yang disaksikan jutaan pemirsa. Lewat jam 10 malam, mereka memilih mendekam di bangunan yang belum selesai. Beristirahat setelah lembur.

“Capek Mas,” kata Ahmad. Sulipin sudah merebahkan badan.

“Warung yang punya TV juga sudah tutup. Jadi mendingan istirahat saja. Besok kan mesti kerja lagi,” imbuh Muslikun sebelum saya pamit pulang.

Aceh-Turki

Sekilas Hubungan Aceh dengan Turki
by sud
Hubungan antara Aceh dengan Turki sudah berlangsung lama. Disebutkan bahwa di Banda Aceh terdapat Kampung Bitai dan Emperom yang merupakan cikal bakal tempat tinggal orang Turki di Aceh. Di Kampung Bitai banyak terdapat makam yang diyakini sebagai keturunan Turki, dan Suriah di Kampung Surin. Asal kata Bitai disebutkan berasal dari kata Baital Maqdis, lama kelamaan berubah menurut lidah Aceh yaitu Bitai, sedangkan Emperum berasal dari Empe dan Rium, demikian juga dengan Surin, disebutkan berasal dari kata Suriah.
Sumber Portugis menyebutkan bahwa pertengahan abad ke-16 (sekitar tahun 1540 M) Aceh telah mengadakan hubungan dengan Turki. Pinto, seorang petualang Portugis menyebutkan bahwa Aceh telah mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli, bantuan tersebut dibawa oleh kapal Aceh sebanyak 4 buah yang sengaja datang ke Turki untuk mendapatkan alat-alat senjata dan pembangunan.
Selama abad ke-16 dan ke-17 terjadi pertukaran, baik dagang maupun diplomatik dan budaya antara Istanbul dengan Aceh. Utusan Aceh yang pertama ke Konstantinopel pada tahun 1562 M yang dikirim oleh Sultan Ala Addin Riayat Syah Al Kahhar.
Dalam rangka memperoleh bantuan dari Kerajaan Islam terbesar pada waktu itu, pada tahun 1563 M sultan Aceh mengirim suatu utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta hadiah-hadiah berharga dari sultan Aceh kepada penguasa kerajaan Turki. Hadiah-hadiah itu berupa emas, rempah-rempah dan lada.
Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh juga telah meyakinkan pihak Turki mengenai suatu keuntungan yang akan diperoleh pihak Turki dari perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara, apabila orang-orang Portugis telah diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. Perutusan Aceh itu dapat dikatakan berhasil karena suatu keputusan Sultan Selim II Turki bertanggal 16 Rabiul Awal 975 atau 20 September 1567, berisi penyambutan positif atas permintaan sultan Aceh yang dibawa oleh wazirnya bernama Husin. Dari pertemuan Husin dengan Selim II diketahui betapa besarnya tekad kaum muslimin di kepulauan Nusantara untuk mengusir kafir Portugis. Akhirnya pihak Turki bersedia mengirim bantuan kepada Aceh, berupa dua buah kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal itu. Di antara 500 orang Turki itu juga terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang baik ukuran besar maupun kecil dan meriam berukuran besar. Selain itu, pihak Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer kepada pihak Aceh. Laksamana Turki Kurt Oglu Hizir diserahi tugas untuk memimpin ekspedisi tersebut dengan tugas khusus mengganyang musuh Aceh, mempertahankan agama Islam dan merampas benteng-benteng kafir.
Di lain pihak, Portugis juga meningkatkan kegiatan-kegiatannya, sekitar tahun 1554-1555 M armada Portugis mengendap terus di pintu masuk laut Merah khusus untuk menyergap kapal-kapal yang datang dari Gujarat dan Aceh. Namun, pengalaman Portugis menunjukkan tidak begitu berhasil mematahkan kegiatannya. Lebih merepotkan Portugis, di samping kegiatan Aceh menghadapi Portugis di laut lepas, Aceh juga tidak henti-hentinya menyerang Malaka. Atau seperti dikatakan oleh Couto dalam ungkapannya bahkan di tempat tidurnya pun Sultan Riayat Syah (Al Kahhar) tidak pernah diam untuk memikirkan pengganyangan Portugis.
Di samping bantuan militer yang diperoleh dari Turki, Aceh juga berusaha mendapatkan dari beberapa pemimpin kerajaan di Nusantara dan India tetapi Aceh hanya mendapatkan sekedar bantuan yang terbatas dari pemimpin Calicut dan Jepara. Selain itu, dalam rangka mengenyahkan Portugis dari kawasan selat Malaka, Aceh juga menggunakan tentara-tentara sewaan yang terdiri atas orang-orang Gujarat, Malabar dan Abyssinia.
Pada masa Sultan Al Mukammil, juga melakukan hubungan dengan Sultan Turki, Mustafa Khan. Ketika itu Sultan Mustafa Khan mengirim subuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberi pula sebuah pernyataan dan izin bahwa kapal-kapal perang Kerajaan Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di tiang kapal perangnya.
Selain itu, dalam Hikayat Aceh terdapat cerita panjang lebar tentang penyambutan perutusan Turki oleh Sultan Iskandar Muda. Suatu perutusan yang dipimpin oleh dua orang datang mencari kamper dan nafta yang diperlukan untuk obat.
Suatu ketika perutusan Aceh diberangkatkan ke Turki (Rum) untuk mengadakan perhubungan antara Aceh dengan Turki. Bingkisan yang dikirim untuk sultan Turki yang terpenting adalah lada, memenuhi semua kapal-kapal yang diberangkatkan. Karena terlalu lama dan banyak rintangan di laut, menyebabkan muatan lada menjadi habis di jalan dan tinggallah secupak lada saja yang dapat disampaikan sebagai bingkisan kepada Sultan Turki. Disebutkan bahwa kapal Aceh menempuh laut Merah lewat Mecha (suatu pelabuhan di Jazirah Arabia), lintasan laut sempit, dari situ berjalan darat melewati Palestina dan Syria (Suriah).
Kisah lada sicupak ini meskipun sudah merupakan dogeng, tetapi terus hidup di tengah masyarakat Aceh. Walaupun demikian, dalam kisah tersebut dapat saja dicari kebenarannya. Salah satu dari bait syair yang dinyanyikan dalam tarian seudati, yang berhubungan dengan peristiwa lada sicupak, sebagai berikut :
Dengo lon kisah Panglima Nyak Dom, U nanggroe Rum troih geubungka, Meriam sicupak troih gepuwo, Geupeujaro bak po meukuta. (Dengarkan kisah Panglima Nyak Dum, Berlayar sampai ke negeri Rum, Meriam sicupak dibawa pulang, diserahkan kepada paduka Mahkota).

Baba Daud : Ulama Aceh Asal Turki
Pertama-tama, terlebih dahulu kita memberikan penjelasan tentang asal kata Rum. Kota Anatolia yang saat ini dikenal sebagai wilayah utama Turki, merupakan kawasan yang berada di bawah hegomoni kekaisaran Bizantium yang juga disebut Kekaisaran Timur Roma pada masa lalu. Masyarakat yang menduduki teritorial Anatolia saat itu, di panggil sebagai orang Rum Sebelum pusat negara Saljuki dan Turki Usmani dapat menguasai wilayah ini. Oleh sebab itulah, mengapa Anatolia telah jauh dikenal sebagai daratan Rum. Disisi lain, Sumber-sumber Arab dan Persia memakai nama Rum untuk kekaisaran Bizantium dan Roma.
Setelah Bangsa Turki Saljuki berhasil merobohkan Anatolia pada permulaan abad ke-13, bangsa Turki mendiami Anatolia dan kemudian masyarakat yang hidup disekitar wilayah ini mulai memanggil mereka dengan gelar Rum.
Setelah Fatih Sultan Mehmed II (sang penakluk) berhasil menguasai Konstantinopel*, nama Rum mulai dipakai untuk golongan Turki. Oleh karena itu, telah menjadi suatu kebiasaan umum bangsa Turki dipanggil sebagai bangsa Rum, terutama mereka yang tinggal dikawasan Anatolia, tepatnya saat Turki Usmani berada pada puncak kekuasaan bagi seluruh dunia pada pertengahan kedua abad ke-15. kekuatan politik, ekonomi, dan budaya Turki Usmani juga mempengaruhi negara-negara Islam di dunia Melayu dan nusantara. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Melayu memanggil Sultan Turki Usmani sebagai ‘Raja Rum’ dikarnakan keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel.
Sebagai hubungan antara Kesultanan Turki Usmani dan Kesultanan Aceh Darussalam, bangsa Turki lebih banyak datang mengunjungi Aceh dan mereka juga dipanggil dengan panggilan yang sama, tidak hanya oleh orang-orang Aceh sendiri tapi juga oleh penduduk di dunia Melayu.
Baba Daud di sebut Ar-Rum karena leluhurnya berasal dari Anatolia, Turki. Argumen lain yang mendukung pendapat ini adalah Emperum, sebuah desa yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Alasan pemberian nama ini diketahui Sejak adanya pengunjung pertama yang berasal dari wilayah Turki pada abad ke-16. kata Emperium terdiri dari dua kata: ‘empe’ dan ‘rium’. ‘Empe’ berarti sebuah penghormatan. Sedangkan ‘Rium’, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dipakai untuk sekelompok orang yang datang dari Anatolia. Maka, kata ‘Emperium’ mulai dipakai oleh masyarakat Aceh untuk mengekspresikan penghormatan mereka pada komunitas Turki di Aceh.
Baba Daud salah seorang murid Syeikh Abdurrauf As-Singkili. Kedudukan Baba Daud sebagai seorang Ulama besar dapat dilihat dari kontribusinya dalam mendirikan Dayah Manyang Leupue bersama-sama dengan gurunya. Disamping itu, Baba Daud juga mencurahkan jasanya dalam penulisan tafsir alquran dan tafsir Melayu pertama yang dipakai oleh As-Singkili sebagai referensi utama penulisan Tafsir Bayzawi. Buku tersebut berjudul Turjumanul al-Mustafid yang telah berperan penting dalam peningkatan pemikiran Islam di dunia Melayu.
Cetakan asli tulisannya dapat ditemukan pada salah seorang cucu Baba Daud yang berkediaman di Patani yang kemudian dipindahkan kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani. Karya tulis ini telah diterbitkan berkat bantuan Syeikh Ahmad Al-Patani. Berdasarkan penuturan oleh keturunan-keturunan Baba Daud bahwa ada beberapa karya lainnya yang dikarang oleh Baba Daud sendiri. Akan tetapi hingga kini belum ada data-data konkrit yang dapat ditemukan. Karya tulisan tangan Baba Daud tersebut disalin kembali oleh Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani, salah seorang keturunannya yang juga dikenal sebagai Tok Daud Khatib. Tulisan tersebut diwasiatkan kepada sepupunya, Syeikh Ahmad Al-Patani yang kemudian ditulis kembali oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Patani, Syeikh Daud bin Ismail Al-Patani dan Syeikh Idris bin Husein Kelantan. Edisi pertama diterbitkan di Istanbul, Mekkah, dan Mesir. Ketiga pemuka agama tersebut juga melakukan beberapa koreksi pada karya tulis asli Baba Daud. Baba Daud, tak hanya mengkontribusikan hasil karya tulis gurunya, Syeikh Abdurrauf As-Singkili tapi juga menulis hasil karyanya sendiri. Salah satu tulisannya yang terkemuka adalah Risalah Masailal li Ikhwanil Muhtadi yang telah dijadikan sebagai buku pedoman utama tak hanya di Aceh tapi juga di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang semua negara ini dulunya saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu selama kurun waktu 300 tahun terakhir. Buku yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawi dan teknik tanya-jawab ini telah diakui sebagai salah satu cara terbaik untuk mengajarkan pengetahuan agama dasar bagi murid-murid yang tidak mengenal bahasa Arab. Buku ini juga menampilkan beberapa mata pendidikan yang berlainan seperti Akidah, Ibadah, dan lain sebagainya tanpa ada perubahan sedikitpun. Di samping itu pula, ajaran-ajaran dalam tulisan Baba Daud ini telah berperan banyak dalam pembentukan karakter keagamaan murid-murid di Aceh.
Sepanjang karirnya, Baba Daud juga dikenal sebagai seorang guru dan banyak orang-orang penting yng memilih untuk menjadi muridnya. Salah satunya adalah Nayan Baghdadi, anak dari Al-Firus al-Baghdadi, pendiri Dayah Tanoh Abee. Nayan Firus al-Baghdadi menjalani satu fase pendidikannya di Dayah Leupu Peunayong, sebuah dayah terkemuka di Aceh saat itu dan Baba Daud yang bergelar sebagai Teungku Chik di Leupu adalah salah satu gurunya. Setelah menyempurnakan pendidikannya di sini, Baba Daud menganjurkannya untuk kembali ke Seulimeum dan mendirikan sebuah pusat kegiatan pendidikan di sana. Selain Nayan Firus al-Baghdadi, Syeikh Faqih Jalaluddin juga tercatat sebagai salah seorang murid Baba Daud lainnya yang popular.
Tidak Diketahui apakah ada atau tidak keturunan Baba Daud yang masih hidup di Aceh saat ini. Bagaimanapun, seorang pemuka agama yang terkenal, Syeikh Daud bin Ismail al-Jawi al-Patani yang menetap di Patani, bagian selatan Thailand, diperkirakan sebagai salah seorang keturunanya. Haji Nik Wan Fatma binti Haji Wan Abdul Kadir Kelantan bin Syeikh Daud bin Ismail al-Patani (Kak Mah) yang disebut-sebut sebagai keturunannya yang lain telah menghembuskan nafasnya yang terakhir pada hari Senin, 26 Juli 1999, di Kota Baru Kelantan.
Makam Baba Daud terletak berdekatan dengan lokasi Mesjid di Leupu, Peunayong (nama wilayah sebenarnya). Tempat tersebut merupakan salah satu tempat yang dahsyad diterjang Tsunami, kondisi makam tersebut juga menjadi rusak. Meskipun begitu, masyarakat dengan inisiatifnya sendiri memutuskan untuk meletakkan pagar di sekeliling makam tersebut dengan polesan tulisan, “ Makam Ulama Aceh. Anak Murid Tgk. Syiah Kuala.”

*Nama Konstantinopel diberikan sebagai nama kota karena kaisar Bizantium yang berkuasa saat itu bernama Konstantin. Nama ini merupakan nama lama kota Istanbul. Bahkan selama masa kerajaan Turki Usmani, nama ini juga dipakai oleh orang-orang Turki. Kemudian nama tersebut diubah menjadi Istanbul. Pemakaian nama Konstantinopel dapat ditemui dalam beberapa buku atau teks yang ditulis pada abad ke- 19 juga.

Desember 18, 2008...1:55 pm

Tsunami Heritage and Transportation Guide in Banda Aceh

Lompat ke Komentar

Warisan Tsunami dan Panduan

Menuju Objek Wisata

Banda Aceh

Oleh: Sumarni Dahlan

Banda Aceh merupakan ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki berbagai bangunan peninggalan kerajaan Aceh dimasa kejayaannya. Bukan hanya objek wisata sejarah, setelah terjadinya musibah tsunami 26 Desember 2004 lalu, kota Banda Aceh dan sekitarnya banyak dikunjungi para wisatawan yang ingin menyaksikan reruntuhan akibat hantaman ombak tsunami.

Tulisan ini mungkin akan membantu kita untuk menelusuri berbagai objek wisata yang ada mengingat satu objek dengan objek lainnya saling berdekatan.

Penulis menjadikan Terminal Keudah sebagai titik awal perjalanan karena letaknya di pusat kota Banda Aceh agar tidak membingungkan para wisatawan dan tarif angkutan bisa berubah sesuai ketentuan yang berlaku.

1.Objek Wisata Sejarah

Perjalanan dimulai dari Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di pusat kota untuk memudahkan para wisatawan karena sebagian besar objek wisata sejarah yang ada di Banda Aceh terdapat di sekitar Masjid Raya tepatnya Kecamatan Baiturrahman.

1.1 Masjid Raya Baiturrahman

(The Grand Mosque Baiturrahman)

masjid raya baiturrahman

Photo by: Marni.D

Berada di pusat kota Banda Aceh, bangunan yang memiliki ornamen luar biasa indah ini sudah berdiri megah sejak abad ke XII. Masjid ini pernah terbakar beberapa kali ketika Belanda menyerang Kutaraja (Banda Aceh) tepatnya tahun 1883, namun untuk menarik simpati masyarakat Aceh pemerintah Kolonial Belanda membangunnya kembali. Belum lengkap rasanya apabila sudah menginjakkan kaki di Banda Aceh namun tidak berkunjung atau melihat langsung bangunan ini. Saat tsunami, sedikitpun rusak bangunan aslinya bahkan para warga sekitar masjid raya menyelamatkan diri dengan berlindung di dalam masjid. Karena letaknya yang strategis maka untuk mencapai lokasi bangunan tidaklah sulit, cukup dengan menaiki becak dari terminal angkutan Keudah atau labi-labi (angkutan umum) yang setiap hari lalu lalang di pusat kota, bahkan bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja.

Trayek Angkutan labi-labi yang melewati kawasan Masjid Raya:

-Terminal Keudah- Keutapang Dua

-Terminal Keudah-Ajun

-Terminal Keudah-Lampeuneurut

-Terminal Keudah-Lhoknga

-Terminal Keudah-Ulee Lheu

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:

Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata).

Tarif angkutan Rp.2000 dan Rp.5000 bila menggunakan becak bermotor.

1.2. Museum Aceh

(Aceh Museum)

musium-aceh(Photo by: Marni)

Masih di kawasan Baiturrahman, beberapa ratus meter ke depan (dari samping kanan Bharata Dept Store) terdapat musium Aceh yang merupakan bangunan tradisional Aceh pada masa Gubernur Militer Belanda, Van Swart

1914. Di depannya mengalir Sungai Krueng Aceh dan apabila sungai tersebut memiliki sarana transportasi seperti perahu atau sampan maka setelah melewati Rumoh Aceh kita bisa menikmati indahnya Meuligo atau pendopo serta gunongan. Di samping kanan terdapat sebuah jam besar yang dikenal dengan sebutan lonceng Cakra Donya. Dari sejarah diketahui bahwa lonceng tersebut merupakan hadiah dari raja Cina, Dinasti Ming yang diantar oleh Laksamana Cheng Ho tepatnya tahun 1414. Pada lonceng terdapat tulisan “Sing Fang Niat Toeng Juut Kat Tjo”. Bangunan ini berada tidak jauh dari masjid Raya dan bisa ditempuh dengan jalan kaki saja atau menaiki becak bermotor.Untuk menuju lokasi bisa juga dengan menumpangi becak bermotor karena kendaraan umum tidak melintas di jalan STA.Mahmudsyah.

Namun bisa juga menaiki angkutan umum:

- Jurusan Terminal Keudah-Lambaro

- Terminal Keudah-Seulimum

- Terminal Keudah-Indrapuri

- Termina Keudah-Montasik

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:

Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-JlT.Chik Di Tiro . Lalu turun setelah jembatan di persimpangan jalan STA.Mahmudsyah-Jl.T.Chik Di Tiro Tarif angkutan tetap yakni Rp.2000 dan Rp.7000 bila menggunakan becak mesin.

1.3. Makam Sultan Iskandar

(The Grave of Sultan Iskandar Muda)

makam-sultan-iskandar-muda

Photo by: Marni.D

Di sebelah musium Aceh terdapat makam Sultan Iskandarmuda, seorang raja yang kejayaannnya hingga mencapai semenanjung Malaysia dan sekitarnya. Iskandarmuda merupakan raja yang sangat berwibawa dan bijaksana bahkan ia mampu menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan pada masa itu.Terletak di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baturrahman tepatnya Komplek Baperis. Untuk menjangkau lokasi dapat melalui Jalan Sultan Mahmudsyah, di depan Pendopo Gubernur. Makam ini berbatasan dengan Kompleks Makam Kandang Meuh dan Gedung Museum Negeri Aceh di sebelah Utara, gedung urusan rumah tangga gubernuran di sebelah selatan, Kelurahan Peuniti di sebelah timur dan asrama TNI AD di sebelah barat. Tidak ada angkutan umum melintasi jalan tersebut namun bisa dengan menumpangi:

1.4 . Makam Kandang XII

(The Graves Kandang Meuh XII)

makam-kandang-xiiPhoto by:Marni.D

Komplek pemakan terdapat di Kelurahan Keraton, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh. Ada 12 makam Sultan terdapat di komplek ini diantaranya:Makam Sultan Ali Mughayatsyah, Sultan Alaidin Riayatsyah al Qahar dan Sultan Salahuddin Riayatsyah. Komplek pemakaman terukir baik dan terawat serta terletak di tempat cukup strategis yakni di Jalan Sultan Alaidin Mansursyah, berjarak 200 meter dari pendopo Gubernur ke arah barat. Makam dapat dikunjungi setiap hari namun tidak ada penjaga khusus makam tersebut. Tidak ada angkutan umum melintasi jalan tersebut namun bisa dengan menumpangi labi-labi:

- Jurusan Terminal Keudah-Lambaro

- Terminal Keudah-Seulimum

- Terminal Keudah-Indrapuri

- Terminal Keudah-Montasik

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:

Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-JlT.Chik Di Tiro . Lalu turun setelah jembatan di persimpangan jalan STA.Mahmudsyah-Jl.T.Chik Di Tiro Tarif angkutan tetap yakni Rp.2000 dan Rp.7000 bila menggunakan becak mesin.

1.5 Komplek Makam Kandang Meuh

(The Kandang Meuh Grave)

makam-kandang-meuh

Photo by: Marni.D

Masih di lokasi yang sama, di komplek Baperis dan Komplek Museum Negeri Aceh terdapat Makam Kadang Meuh.Dua raja Aceh, yang pertama disebut Kandang Meuh dan satu lagi disebut Komplek Makam Sultan Ibrahim Mansursyah.Yang dimakamkan di komplek tersebut adalah Putri Raja anak Raja Bengkulu, Sultan Alaidin Mahmudsyah, Raja Darussalam, Tuanku Zainal Abidin, dan lain-lain.Sedang di komplek Makam Sutan Ibrahim Mansur syah dimakamkan antara lain:Pocut Rumoh Geudong (istri Sultan Ibrahim Mansur), Pocut Sri Banun (anak Sultan Ibrahim Mansur), Sultan Muhammadsyah (anak sultan Mahmud syah), Sultan Husein al Johar al alam syah (anak sultan Mahmud syah), Putro Binen (Kakak sultan Ibrahim Mansur syah, dll.Tidak ada angkutan umum melintasi jalan tersebut namun bisa dengan menumpangi labi-labi:

- Jurusan Terminal Keudah-Lambaro

- Terminal Keudah-Seulimum

- Terminal Keudah-Indrapuri

- Terminal Keudah-Montasik

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-JlT.Chik Di Tiro . Lalu turun setelah jembatan di persimpangan jalan STA.Mahmudsyah-Jl.T.Chik Di Tiro

Tarif angkutan tetap yakni Rp.2000 dan Rp.7000 bila menggunakan becak mesin

1.6. Pendopo Gubernur

(The Govermor Hall)

Photo by: Marni.D

Di luar Komplek Baperis (bersisian ) terdapat bangunan tempat kediaman Gubernur yang merupakan jejak peninggalan kolonialisme di Banda Aceh. Letaknya di ujung Jalan STA Mahmudsyah dan bangunan memiliki nilai historis-arkeologis yang cukup tinggi dan layak dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Sungai kecil yang bermuara di Krueng Aceh dahulu dimanfaatkan oleh sekoci-sekoci kapal perang Belanda untuk menghubungkan tempat pendaratan di pelabuhan Ulee Lheu dengan kediaman Komandan Militer dan Sipil Belanda.Tahun 1987 gedung tersebut diganti dengan sebutan Meuligo (Mahligai Aceh).Hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke halaman Pendopo dan itu pu apabila ada acara gubernuran.Meski tsunami menghantam hampir seluruh kawasan kota, namun bangunan tidak mengalami kerusakan sama sekali bahkan tidak tersentuh air.Tidak ada angkutan umum melintasi jalan tersebut namun bisa dengan menumpangi labi-labi:

- Jurusan Terminal Keudah-Lambaro

- Terminal Keudah-Seulimum

- Terminal Keudah-Indrapuri

- Terminal Keudah-Montasik

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:

Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-JlT.Chik Di Tiro . Lalu turun setelah jembatan di persimpangan jalan STA.Mahmudsyah-Jl.T.Chik Di Tiro

Tarif angkutan tetap yakni Rp.2000 dan Rp.7000 bila menggunakan becak mesin.

1.7. Gunongan

(Gunongan Princess Playground))

gunonganPhoto by: Marni.D

Bila masih ingin menikmati beberapa bangunan bersejarah, melalui samping kiri pendopo perjalanan dilanjutkan ke arah Neusu Jaya yang merupakan Komplek Militer Iskandarmuda. Dari kejauhan nampak Gunongan, Disebut gunongan karena bentuknya persis gunung buatan.Sultan Iskandar Muda 1608-1636) sengaja membangun tempat bermain tersebut untuk sang pemaisuri yang disuntingnya dari negeri Pahang Malaysia. Gunongan merupakan wujud kecintaan sang Raja kepada ”Putro Phang” yang jauh dari keluarga.

Trayek Angkutan labi-labi untuk mencapai lokasi:

-Terminal Keudah- Keutapang Dua

-Terminal Keudah-Ajun

-Terminal Keudah-Lampeuneurut

-Terminal Keudah-Lhoknga

-Terminal Keudah-Ulee Lheu

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.T.Umar.

Tarif angkutan Rp.2000 dan Rp.10.000 bila menggunakan becak bermotor.

1.8 Taman Budaya

Bersebelahan dengan gunongan tepatnya di Jalan Teuku Umar, sebuah gedung budaya atau lebih dikenal dengan sebutan Taman Budaya berdiri megah. Di sini tempat berlangsungnya pagelaran seni dan tempat berkumpulnya seniman-seniman Aceh. Bisa dijangkau dengan berjalan kaki dari gunongan atau dari Terminal Keudah menaiki labi-labi.

Trayek Angkutan labi-labi untuk mencapai lokasi:

-Terminal Keudah- Keutapang Dua

-Terminal Keudah-Ajun

-Terminal Keudah-Lampeuneurut

-Terminal Keudah-Lhoknga

-Terminal Keudah-Ulee Lheu

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.T.Umar. Tarif angkutan Rp.2000 dan Rp.10.000 bila menggunakan becak bermotor.

1.8. Kerhoff

(Dutch Graves)

Kerkhoff

Photo by: Marni.D

Merupakan areal pekuburan tempat peristirahatan terakhir para serdadu Belanda saat peperangan melawan Kerajaan Aceh Darussalam yang disebut Kerkhoff. Ada lebih kurang 2.200 orang serdadu termasuk Jendral Kohler yang tewas diterjang peluru pejuang Aceh di depan Masjid Raya dan keseluruhannya dikuburkan di tempat tersebut. Saat tsunami, komplek pekuburan dipenuhi mayat dan sampah yang memakan waktu yang cukup lama untuk membersihkannya. Letaknya tidak jauh dari Simpang Jam menuju Ulee Lheue dan pintu utama terletak di depan Blang Padang.

Trayek angkutan yang melewati lokasi:

-Terminal Keudah- Ulee Lhue

Tarif angkutan hanya 2000 rupiah dan 10.000 rupiah menggunakan becak bermotor

1.9.Perpustakaan Ali Hasjmi

(Ali Hasjmi Libary)

Agar tidak bolak-balik yang memakan waktu dan biaya juga tenaga yang banyak, masih ada satu tempat lagi yang menarik untuk dikunjungi yakni sebuah taman baca yang terletak di Jalan Sudirman Banda Aceh. Bangunan ini merupakan tempat tinggal seorang ulama, Budayawan Aceh dan Politikus yang cukup terkenal .Prof.DR.Ali Hasjmi wafat pada 18 Januari 1998 di Rumah sakit Umum dr Zainoel Abidin, Banda Aceh. karena serangan jantung.

Yayasan Pendidikan Ali Hsjmi diresmikan oleh Prof.DR.Emil Salim, Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup saat itu.

Ali Hasjmy mewakafkan bangunan berupa rumah, dan seluruh buku, baskah-naskah, album photo sejarah di atas tanah seluas 3000m2 kepada Yayasan.
Tidak heran bila kita memasuki ruangan, di dalamnya terdapat berbagai macam koleksi photo kegiatan almarhum Ali Hasjmi, naskah kuno, piagam, dan plakat. Selain itu terdapat koleksi benda-benda antik seperti guci.Ali Hasjmi sangat produktif menulis dan ada 50 buah buku karyanya. Diantara beberapa ruang baca yang paling menarik adalah Ruang Khazanah Dunia Melayu Raya yang berkoleksi buku-buku rumpun Melayu Asia Tenggara.

Trayek Angkutan labi-labi untuk mencapai lokasi:

-Terminal Keudah- Keutapang Dua

-Terminal Keudah- Mata Ie

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.T.Umar- Simpang Tiga- Jalan Sudirman.

Tarif angkutan Rp.2000

1.10. Taman Sari

(Playground Taman Sari)

taman-sari2Photo by: Marni.D

Di Pinto Khop yang berada tidak jauh dari gunongan terdapat taman bermain anak-anak sehingga tempat ini ramai dikunjungi terutama pada sore hari atau hari libur. Letaknya memanjang di sebelah selatan Masjid Baiturahman dulu di taman ini berdiri Hotel Aceh tempat Bung Karno bertemu dengan tokoh-tokoh pengusaha Aceh. Namun Hotel bersejarah ini sudah tidak ada.

Trayek angkutan yang melintasi lokasi:

-Terminal Keudah- Mata Ie

-Termina; Keudah-Lhoknga

-Terminal Keudah-Ajun

-Terminal Keudah Ule Lheue turun di depan Kantor Walikota

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U.Turun di depan kntor Walikota Tarif angkutan Rp.2000 dan becak bermotor Rp.5000

1.11. Tugu Kemerdekaan

(Liberty National Monument)

tugu-kemerdekaan Photo by: Marni.D

Masih di Komplek Taman Sari berdiri Tugu Kemerdakaan yang memiliki sejarah tersendiri. Pada perayaan HUT Kemerdekaan RI tempat ini digunakan untuk mengadakan berbagai acara perlombaan seperti panjat pinang, dan sebagainya.

Trayek angkutan yang melintasi lokasi:

-Terminal Keudah- Mata Ie

Terminal Keudah-Lhoknga

-Terminal Keudah-Ajun

-Terminal Keudah Ule Lheue

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U.Turun di depan Kantor Walikota. Tarif angkutan Rp.2000 dan becak bermotor Rp.5000

1.12. Monumen RI 001

(The Monument RI Seulawah)

000_0020Photo by: Marni.D

Rakyat Aceh memiliki andil yang cukup besar dalam dunia penerbangan kita. Di saat seluruh wilayah RI dikuasai Belanda, Aceh yag tidak tertaklukkan menjadi modal bagi perjuangan RI. Rasa sosial masyarakat Aceh yang cukup tinggi mereka menyumbangkan harta benda termasuk emas untuk membeli dua buah pesawat yang diprakarsai masyarakat dan Soekarno dalam pertemuan di Hotel Atjeh seharga $ 120.000 atau 25 kg emas.Replika DC3 Seulawah Agam kini dapat dilihat di Blang Padang, Banda Aceh.Tidak jauh dari monumen RI terdapat lokasi terdamparnya kapal milik PLTD Apung. Trayek angkutan yang melewati lokasi:

-Terminal Keudah- Ulee Lhue

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:

Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.ST.Iskandarmuda.

Tarif angkutan hanya 2000 rupiah dan 10.000 rupiah menggunakan becak bermotor.

1.13 Makam Syiah Kuala

(Syiah Kuala Grave)

000_0318Photo by: Marni.D

Setelah seharian penuh melakukan perjalanan menikmati berbagai objek bersejarah di sekitar Masjid Raya, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan ke objek wisata yang lokasinya agak jauh dari kota Banda AcehDi Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala terdapat makam seorang ulama besar Kerajaan Aceh Darussalam yang hidup di abad 16 Masehi. Syech Abdurrauf bin Ali Al Jawi Al Fansuri Al Singkili yang diberi gelar kehormatan Teungku Syiah Kuala.Beliau hidup pada masa kejayaan Sultanah Ratu Safiatuddinsyah dan makamnya banyak diziarahi terutama oleh umat Islam dari berbagai penjuru tanah air maupun negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan beberapa negara Islam lainnya.Saat tsunami, objek wisata tersebut banyak mengalami kehancuran dan kini telah dilakukan perbaikan.Memang lokasinya jauh dari pusat kota sekitar 5 km dan apabila ingin berkunjung ke Makam tersebut harus menggunakan kendaraan pribadi atau carteran karena tidak ada angkutan umum yang melintas di sana.

1.14. Kopelma Darussalam

(Syiah Kuala University Monument)

tugu-okPhoto by: Marni.D

Dari Makam Syiah Kuala perjalanan beralih ke Kopelma Darussalam sebagai pusat pendidikan di Aceh khusunya Banda Aceh. Konon beberapa waktu lalu, Darussalam adalah pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan di nusantara dan wilayah Asia tepatnya saat kerajaan dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Menururt sejarah, Kopelma (Komplek Pelajar dan Mahasiswa) dimulai dengan terbentuknya sebuah badan atau yayasan bernama Yayasan Dana Kesejahteraan (YDKA) tanggal 21 April 1958. Kopelma diresmikan oleh Menteri agama RI K.H Moh Ilyas tanggal 17 agustus 1958 dan dilakukan pula peletakan batu pertama pembangunan Unsyiah. Setahun kemudian Kopelma Darussalam diresmikan oleh Soekarno dengan pembukaan Fakulas Ekonomi sebagai embrio Unsyiah. Presiden RI menoreh perbuatan bermakna pada tugu tersebut:Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata, Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita. Selain Universitas Syiah Kuala, di Komplek tersebut terdapat pula IAIN Ar Raniry sebuah perguruan tinggi islam ternama.

Trayek angkutan yang melintasi lokasi:

-Terminal Keudah- Darussalam

-Terminal Keudah-Tungkop

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.. Cut Mutia-Jl.R.Supratman-Jl.T.Panglima Polem-Jl.T.Daud Beureueh-Jl.T.Nyak Arief. Tarif angkutan hanya 2000 rupiah.

1.15 .Makam Tgk. Turki

(Tgk.Turkey Grave’s and Mosque)

000_0312Photo by: Marni.D

Komplek makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan Masjid Turki yang terletak di Desa Bitai, Kecamatan Jaya Baru.Luas areal 500 m2 dan berada di tengah-tengah perkampungan penduduk. Di sekitar makam itu terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki dengan status tanah wakaf.Pada masa dulu, Bitai merupakan perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muhadis dan Turki.Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makam Tuanku Di Bitai.

Sebagai wilayah terparah dilanda tsunami, korban yang hilang tidaklah sedikit namun atas bantuan Turki melalui palang merah dan bulan sabit merah telah dibangun perumahan perrmanen type-45 untuk korban tsunami di Desa Bitai dan sekiarnya. Memasuki Desa Bitai kita bisa menyaksikan rumah-rumah bantuan bulan sabit merah Turki yang begitu unik dan khas. Juga dilakukan rehab rekon terhadap makam dan masjid Turki dengan gaya bangunan yang mewah dan indah.

Bila ingin mencapai lokasi harus menggunakan mobil carteran karena letak lokasi jauh dari jalan raya namun kondisi jalan sudah baik.

2.Objek Wisata Baru

(New object after tsunami)

Musibah yang terjadi di kota Banda Aceh hanya dapat di kenang lewat sejarah karena beberapa hari setelah tsunami baik pemerintah dan berbagai NGO dalam dan luarnegeri terus melakukan perbaikan struktur dan infrastruktur yang porak-poranda. Boleh dikatakan, saat ini keadaan di Banda Aceh sudah mulai normal dan aktifitas berjalan seperti sedia kala. Namun ada beberapa jejak yang tertinggal dari kedahsyatan gelombang tsunami yang bisa dijadikan sebagai objek wisata tsunami.

2.1. PLTD Apung

(Floating Power Plant)

pltd-apung1Photo by: Stania Yasin

Kapal yang semula didatangkan dari Kalimantan untuk mengisi pasokan listrik itu di tempatkan di pelabuhan Ulee Lheu. Namun terjangan tsunami yang sangat hebat, kapal yang berbobot 3600 ton ikut terseret ke daratan sejauh 4-5 km tepatnya di desa Punge Blang Cut Kecamatan Jaya Baru. Sangatlah mustahil kapal seberat itu bisa bergerak melewati rumah penduduk namun kenyataan seperti itulah yang terjadi. Untuk menariknya kembali ke posisi semula adalah hal yang tidak mungkin dilakukan apalagi di sekitar lokasi sudah berdiri kembali rumah-rumah penduduk.Meski masih ada keberatan penduduk karena tapak rumah mereka tertindih oleh kapal tersebut, namun lokasi paling ramai dikunjungi wisatawan baik lokal, nusantara maupun mancanegara. Terletak di perkampungan penduduk dan untukmencapai lokasi bisa dengan menggunakan labi-labi jurusan Uleee Lheue turun di simpang Punge Blang Cut ata agar lebih mudah menaiki Becak bermotor dengan tarif Rp.25. 000 dari terminal Keudah.

2.2. .Kuburan Massal

(Massive cemetry for tsunami sacrifice)

kuburan-massalPhoto by: Marni.D

Kuburan massal yang terletak di Lambaro dan Ulee Lheu merupakan saksi sejarah begitu banyaknya warga yang menjadi korban sehingga mereka diberikan tempat peristirahatan secara massal. Keluarga yang tidak menemui mayat sanak saudaranya hanya bisa mendatangi kuburan massal untuk mendoakan mereka di alam sana.

Trayek angkutan yang melewati lokasi:

-Terminal Keudah- Ulee Lhue

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.ST.Iskandarmuda.

Tarif angkutan hanya 5000 rupiah dan 25.000 rupiah menggunakan becak bermotor.

2.3. Masjid Baiturrahim

(The local Mosque Baiturrahim)

000_0304Photo by:Marni.D

Letaknya tepat di bibir pantai Ulee Lhueue namun sebuah keajaiban yang sulit diterima akal sehat manusia terjadi saat tsunami. Dengan kuasa Allah Masjid Baiturrahim yang jaraknya hanya 50 meter dari laut masih tetap berdiri.

Trayek angkutan yang melewati lokasi:

-Terminal Keudah- Ulee Lhue menuju pelabuhan

Rute yang dilalui angkutan labi-labi:Terminal Keudah-Jl.Cut Mutia (depan Polda NAD)-Jl.Tepi Kali-Jl.Inpres-Jl.Diponegoro-Jl.Jl.STA.Mahmudsyah-Jl.Muhd.Jam (Depan Barata)- Jl.Abu Lam U- Jl.ST.Iskandarmuda. Tarif angkutan hanya 5000 rupiah dan 25.000 rupiah menggunakan becak bermotor.

2.4. Daerah Tsunami

(Tsunami Disaster Area)

photo-kawasan-tsunamiPhoto by:Marni.D

Kehancuran yang mencapai 75% dari luas daerah yang ada merupakan sebuah objek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi selain kehidupan masyarakat Aceh yang Islami yang dikaitkan dengan ketabahan mereka dalam menghadapi musibah. Boleh dikatakan, Banda Aceh merupakan daerah wisata tsunami dan setiap wisatawan yang datang akan mengunjungi seluruh kota untuk menyaksikan kawasan yang pernah hancur akibat tsunami disamping wisata sejarah.


3.Wisata Kuliner

3.1 Kopi Ulee Kareng

(The Famous Coffee Ulee Kareeng)

kopi-uPhoto by: Marni.D

Ada beberapa keunikan yang terlihat apabila kita menginjakkan kaki di kota Banda Aceh. Di sana-sini banyak warung kopi yang tidak pernah sepi dari pengunjung diantaranya di sekitar Jalan T.Iskandar Ulee Kareng, Reks Peunayong dan Pasar Aceh (masih di kawasan Masjid Raya) bahkan di seluruh kota Banda Aceh. Mengunjungi warung kopi sudah mengakar dalam diri masyarakat Aceh walau di saat konflik sekali pun warung kopi menjadi salah satu alternatif untuk menghilangkan rasa cemas dan takut.

Dikala aman warung kopi juga bermanfaat untuk tempat membicarakan masalah bisnis, politik dan bertukar inspirasi. Bahkan setelah tsunami, warung kopi pulalah yang menjadi tempat menghilangkan rasa lelah para relawan yang datang dalam rangka rehab rekon kota Banda Aceh.Hampir di sepanjang jalan Ulee Kareng terdapat warung kopi dan untuk menjangkau lokasi cukup dengan menaiki angkutan umum dari terminal Keudah jurusan Ulee Kareng dengan membayar ongkos 2000 rupiah.

Bukan hanya di tempat asalnya, kopi Ulee kareng yang sudah sangat terkenal ini juga bisa dinikmati di beberapa warung kopi yang ada di pusat kota yang bisa ditempuh dengan jalan kaki saja.Warung kopi biasanya ramai pada pagi hari, dan semakin ramai menjelang sore dan malam hari. Pengunjung tidak hanya datang untuk menikmati cita rasa kopi tapi terkadang mereka sengaja datang untuk menemui rekan dan bahkan pada malam hari banyak kaum adam yang lebih memilih nonton siaran langsung sepak bola dengan menggunakan layar lebar yang banyak terpasang di setiap warung hingga dini hari.

3.2 Reks Peunayong

(Snack Area in Banda Aceh)

reks-okPhoto by: Marni.D

Letaknya persis di kota Peunayong, dan kawasan ini lebih dikenal sebagai pusat jajanan malam dimana di sekitarnya terdapat beberapa penginapan seperti Hotel Medan, Hotel Parapat, Hotel Cakradonya, Hotel Sultan. Kawasan Reks bak sebuah magnit yang mampu menarik animo setiap orang untuk menghabiskan waktu di sana.

Semakin malam, para pengunjung kian ramai dan untuk lebih menghidupkan suasana, beberapa waktu lalu, Pemko Banda Aceh berniat membangun sebuah pentas di pojok area untuk para insan seni mengingat kawasan tersebut dikelola oleh para seniman dan budayawan Aceh seperti Hasbi Burman (Presiden Reks), Udin Pelor, dll.Tidaklah sulit untuk mencari dimana letak kawasan karena angkutan umum jurusan Darussalam, Ulee Kareng setiap saat melintas di tempat itu dengan ongkos angkutan rata-rata 2000 rupiah.

3.3 Souvenir dan Makanan Khas

(souvenir and traditional meal in aceh)

Sejak kurun waktu yang cukup lama kota Banda Aceh dikenal hasil kerajinannya seperti mainan kalung Pinto Aceh, Rencong, tas motif Aceh dan makanan khas yaitu dendeng Aceh yang dapat dibeli di toko-toko yang ada di Peunayong, Simpang Surabaya dan Pasar Aceh.

Sebelum tsunami, semua jenis souvenir tersebut dapat di beli di Pasar Aceh sebagai pusat perbelanjaan tradisional namun saat ini para penjual belum memiliki satu tempat khusus namun demikian toko souvenir terdapat dimana-mana seperti Peunayong, Neusu Jaya dan Pasar Aceh sendiri. Untuk kawasan Peunayong bisa dijangkau dengan menaiki angkutan umum labi-labi trayek Darussalam dan Ulee Kareng (2000 rupiah), sedang kawasan Neusu Jaya menggunakan angkutan umum trayek Lampeunurut (2000 rupiah). (*)

sim to bti

Pendidikan Sultan Iskandar Muda Sultan lskandar Muda yang pada masa bayinya sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana, sehinga sejak masa kecilnya telah mengetahui bagaimana seluk beluk kehidupan adat dan tata kerama dalam istana, baik dalam hal sopan santun antar anggota keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan lain sebaginya. Sejak usia antara 4 dan 5 tahun kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan Agama dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya. Selain dia, ke dalam istana diikutsertakan juga teman-temannya yang lain untuk belajar bersama. (Zainuddin, 1957: 20)

Ketika usianya mencapai baligh, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang budak pengiringnya kepada Teungku Di Bitai (salah seorang ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis yang sangat menguasai ilmu falak dan ilmu firasat). Dari ulama ini secara khusus dia mempelajari ilmu nahu. Melihat kecerdasan, ketekunan, kemuliaan sikap dan tingkah laku lskandar Muda telah menjadikannya sebagai salah seorang murid yang paling disayangi oleh Teungku Di Bitai. Karena itu, pada suatu hari gurunya diilhami untuk memberikan satu nama kebesaran kepadanya dengan gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah (Zainuddin, 1957: 27). Semenjak saat itu, panggilan Peurkasa terhadap Iskandar Muda yang masih muda belia semakin populer bukan hanya di kalangan istana saja tetapi julukan itu semakin terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri.

Dalam kurun-kurun berikutnya, ayahnya Sultan Mansursyah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Mekah, di antaranya Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Sekh Muhammad Jamani yang keduanya ahli dalam bidang ilmu fiqah, tasawuf dan ilmu falak. Selanjutnya hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat yakni Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda.
Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempejarai berbagai ilmu yang belum diketahuinya. Pada saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam.

PENINGGALAN SEJARAH DAN KESADARAN SEJARAH DI ACEH :
SUATU TANTANGAN MASA DEPAN 1
O l e h:
Drs.Husaini Ibrahim,MA*
1. Pengantar
Sebagai peninggalan sejarah seumpama mesjid kuno, makam,
naskah dan bangunan lama merupakan benda-benda yang cukup banyak
di Aceh. Kehadirannya adalah tidak terlepas dari perjalanan yang panjang
suatu masa kejayaan beberapa kerajaan yang ada di Aceh seperti
Kerajaan Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam.
Seiring dengan perjalanan waktu yang terus berputar, maka
sejarahpun turut bergulir meninggalkan jejak-jejaknya. Berbagai
perubahan terjadi yang memang tidak bisa dielakkan. Berkaitan dengan
hasil sejarah, manusia sebagai makhluk yang menyejarah dihadapkan
pada suatu tantangan menyelamatkan peninggalan sejarah atau
membiarkan saja mengikuti arus sesuai dengan perkembangan zaman.
Berbagai peninggalan sejarah yang ada di Aceh mengalami
kehancuran oleh berbagai faktor baik disengaja ataupun tidak. Cukup
banyak mesjid kuno yang dibangun pada abd ke-17 dihancurkan lalu
diganti atau dibangun mesjid yang baru. Makam dengan berbagai jenis
tipe nisan kubur mulai abad ke-13 hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19
1 . Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII , tgl.13-16
November 2006 di Jakarta.
 . Dosen Pada Program Studi Pend.Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala
Darussalam-Banda Aceh dan kandidat Doktor dalam bidang Arkeologi pada Universiti
Sains Malaysia.
1
banyak terbengkalai, sebagian dijadikan batu pengasah oleh masyarakat
setempat.
Demikian juga Aceh yang dikenal sebagai gudang naskah di
Nusantara,kini sangat sulit untuk mendapatkannya apalagi ketika tsunami
yang melanda Aceh tanggal 26 Desember 2004 kebanyakan naskah kuno
di Aceh telah lenyap ditelan bersamanya.
Bukan itu saja contoh lain adalah bangunan-bangunan bersejarah
seperti Balai Teuku Umar, Rumah tempat tinggal C.Snouck Hurgonje dan
Hotel Aceh yang memiliki nilai sejarah semuanya sudah tidak ada lagi.
Bangunan sudah berubah menjadi toko atau bentuk lainnya.
Dari contoh di atas apakah ini suatu pertanda bahwa kesadaran
sejarah orang Aceh sangat tipis atau ada faktor lain yang memungkinkan
hal ini terjadi, seperti kurangnya komitmen pemerintah terhadap
peninggalan sejarah di Aceh atau pengetahuan masyarakat tentang
peninggalan sejarah amat dangkal. Mungkin juga faktor sanksi hukum
yang tidak pernah diperlakukan bagi orang-orang yang merusak benda
cagar budaya atau alasan lain seperti konflik Aceh yang berlarut-larut
sehingga penanganan masalah peninggalan sejarah di Aceh terabaikan.
Peninggalan sejarah di Aceh tersebar di berbagai kawasan dalam
beberapa kabupaten yang ada, namun diantaranya yang paling banyak
dan berfariasi adalah terdapat dalam kawasan Kota Banda Aceh. Hal ini
bisa dimaklumi karena Banda Aceh merupakan ibukota dari Kerajaan
Aceh Darussalam yang pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa
2
pemerintahan Sultan Iskandar Muda abad ke-17 lalu. Sebagai pusat
kerajaan, segala aktivitas berlangsung di Banda Aceh. Oleh karena itu
banyak peninggalan sejarah dijumpai di sana.
Peninggalan sejarah di Banda Aceh bukan hanya berasal dari
masa kejayaan Islam saja, namun peninggalan masa kolonialpun banyak
dijumpai di sana, akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak peninggalan masa
Islam. Banda Aceh sebagai ibukota dan pusat pemerintahan tetap
berlangsung hingga masa kolonial bahkan sampai sekarang ini.
Oleh karena banyaknya peninggalan sejarah masa Islam di Kota
Banda Aceh, maka pembahasan dalam tulisan ini dibatasi dalam kawasan
tersebut dengan fokus utama adalah masalah nisan kubur sebagai
peninggalan sejarah yang tidak bergerak. Kawasan ini merupakan pintu
gerbang dan cerminan bagi daerah-daerah lain di Aceh.
Kemudian khusus mengenai mesjid sebagai peninggalan sejarah
yang banyak terdapat di Aceh, di samping dipilih mesjid kuno yang ada di
Kota Banda Aceh, juga akan dijelaskan beberapa mesjid yang ada di
Kabupaten Aceh Besar yang memiliki nilai historis yang tinggi. Aceh Besar
merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Banda Aceh,
dan daerah ini memiliki ciri pemerintahan tersendiri pada masa kekuasaan
Sulthanah (Raja Wanita) di Aceh. Mengenai peninggalan sejarah lainnya
yang ada di Aceh sedikit banyaknya akan disinggung juga.
3
2. Batu Aceh dan Masalahnya
Keberadaan makam di kawasan Kota Banda Aceh dalam kaitannya
sebagai bekas ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam masa lampau
menunjukkan kwantitas dan kwalitas yang tinggi.Makam dengan berbagai
bentuk nisan yang menurut Yatim (1987) lebih populer dengan sebutan
”Batu Aceh” secara umum ada tiga tipe atau bentuk nisan yang dijumpai di
sana yaitu bentuk gabungan ”sayap bucranc”, bentuk persegi panjang dan
bundar (silindrik).
Menurut data dari Kantor Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara tahun 2004, si
tus makam di Aceh tercatat sebagai berikut:
NO NAMA SITUS KETERANGAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Makam Kandang XII
Komp. Makam Raja-Raja Bugis
Makam Raja Reubah
Makam kandang Blang/Makam Saidil Mukamil
Komp, Makam Meurah Pupok
Komp. Makam Jamaloi
Komp. Makam Kandang Meuh
Makam Tgk. Dianjong
Komp. Makam Tuan Dikandang
Komp. Makam Raja-Raja Kampung Pande
Komp. Makam Putroe Ijo
Komp. Makam Tgk. Di Leupu
4
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Komp. Makam Tgk. Abdullah Arief
Komp. Makam Lampulo I
Komp. Makam Lampulo II
Komp. Makam Kuna Lampulo III
Komp. Makam Kampung Jawa
Komp. Kuala Makam
Makam Tgk. Di Bitai
Makam Tuan Di Pakeh
Komp. Makam Raja Raden
Makam Tuan Di Kandang
Komp. Makam Kuna Geuceu Iniem
Komp. Makam Lamteumen
Komp. Makam Peteu Meurah
Komp. Makam Jirat Manyang
Komp. Makam Syiah Kuala
Komp. Makam Tgk Salahuddin/Salehuddin
Komp. Makam Tunggai II
Komp. Makam Poteumeurehom
Komp. Makam Plak Pling
Makam Raja Jalil
Makam Kuna di Belakang Pos
Komp. Makam Kuna Darussalam
5
Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa makam di kota Banda
Aceh tersebar dalam beberapa tempat. Secara arkeologis diantara data
yang diperoleh dalam satu situs terdapat tipe nisan yang berbeda. Nisan
bentuk polos pada umumnya digunakan pada makam-makam Teungku
(ulama), nisan persegi panjang dengan puncak mahkota bersusun dua
atau tiga dan bentuk bundar segi delapan dengan bunga lidah api dan
mahkota bersusun pada umumnya digunakan oleh kaum bangsawan.
Diantara ragam hias yang terdapat pada makam terutama pada
batu nisan adalah berpola garis geometris dan ada ruangan-ruangan yang
diisi dengan pahatan ayat-ayat Al Qur’an.
Kebanyakan dari makam yang ada belum diketahui identitasnya
karena tidak bertulisan atau telah rusak dan aus dimakan usia. Ada
beberapa diantaranya yang diketahui identitasnya, pada umumnya adalah
makam para raja dan ulama yang terkenal di Aceh seperti Kandang XII,
komplek makam Raja-raja Bugis, komplek Kandang Meuh, komplek
makam Tgk. Di Anjong, komplek makam Syiah Kuala dan beberapa
komplek makam lainnya.
Dalam peyebarannya batu Aceh hampir merata ke seluruh pelosok
Indonesia, diantaranya ada yang sampai ke Malaysia. Nisan-nisan yang
berciri khas Aceh perseberannya meliputi daerah Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Riau, Bengkulu, Lampung, Banten, Jakarta dan beberapa tempat di
Malaysia (Ambary, 1985, Yatim, 1987). Dalam perkembangan tahap
6
berikutnya setelah abad ke-17 batu Aceh telah merambah ke kawasan
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya.
Sebagai peninggalan sejarah, keberadaan makam dengan
berbagai perangkat atributnya adalah sangat besar artinya terutama
sebagai sumber sejarah yang dapat mengungkapkan berbagai informasi
masa lampau.
Dari pengamatan yang dilakukan dijumpai bahwa masih banyak
nisan yang tidak terurus keadaannya. Kondisinya sangat memprihatinkan
sehingga dikhawatirkan akan dapat menghilangkan jejak-jejak sejarah
masa lampau.
Pada saat gempa bumi dan tsunami melanda Aceh tanggal 26
Desember 2004, banyak situs sejarah di Aceh yang rusak. Makam kuno
seperti di Kampong Pande hancur berantakan, demikian juga makam
Syiah Kuala, makam Putroe Ijo, makam di Lampulo dan lain-lainnya
hingga kini belum selesai penanganannya.
3. Mesjid Aceh dan tantangan masa depan
Sebagai daerah yang dijuluki Serambi Mekkah, di Nanggroe Aceh
Darussalam cukup banyak dijumpai mesjid kuno sebagai salah satu
warisan budaya Islam yang sangat penting. Mesjid kuno di Aceh memiliki
ciri khas tersendiri baik ditinjau dari segi perletakan, struktur bangunan,
arsitektur, ragam hias, fungsi dan lain-lainnya. Bangunannya didirikan di
atas perletakan tanah yang menghadap kiblat, dengan bahan bangunan
7
yang terdiri dari material-material yang ada di sekitar seperti batu gunung,
tanah liat, kayu dan daun rumbia. Atap berbentuk tumpang dan pelana
(Syafwandi, 1988:41).
Apabila dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan mesjid
di Indonesia, maka hal ini terjadi seirama dengan proses penyiaran Islam
itu sendiri. Oleh karena itu pembangunan mesjid mengikuti pola
perkembangannya sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu. Dari daerah
asalnya Aceh, Islam kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya.
Tentu saja mesjid di daerah ini merupakan mesjid-mesjid yang tertua di
Indonesia. Kemudian pembangunannya dilakukan dan berkembang ke
kawasan Sumatra lainnya, ke Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan
daerah-daerah lainnya.
Dalam perkembangan berikutnya model ”Mesjid Aceh” yang sudah
dikenal di Nusantara banyak dijadikan sebagi model pembangunan mesjid
lainnya di Indonesia. Pembangunan mesjid ”Muslim Pancasila” misalnya
adalah mengambil contoh mesjid Aceh yang selama ini diakui sebagai
mesjid ”Para Wali” di Jawa. Dapat dipahami bahwa diantara para wali di
Jawa ada yang berasal dari Aceh atau memiliki garis keturunan dengan
”Para Wali” dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Di Kota Banda Aceh terdapat empat buah mesjid kuno yang
memiliki nilai historis yang tinggi. Keempat mesjid tersebut adalah Mesjid
Raya Baiturrahman, Mesjid Teungku Di Anjong, Mesjid Teungku Di Bitai
dan Mesjid Ulee Lheu. Diantara mesjid tersebut yang cukup terkenal
8
adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang terletak di tengah-tengah Kota
Banda Aceh. Sebagai peninggalan sejarah mesjid tersebut tercatat dalam
inventaris Nasional. Berikut akan dijelaskan riwayat singkat dari dua buah
mesjid tersebut yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, yaitu
Mesjid Teungku Di Anjong dan Mesjid Ulee Lheu.
A. Mesjid Teungku Di Anjong
Mesjid Teungku Di Anjong terletak di desa/kelurahan Pelanggahan
Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Mesjid ini didirikan pada abad
18 Masehi oleh seorang ulama yang berasal dari Arab Saudi (Hadramaut)
Yang bernama Syekh Abubakar Bin Husin Bafaqih. Mesjid ini didirikan
dengan konstruksi semi permanen bergaya Timur Tengah, dengan atap
tumpang yang sudah dimodifikasi sebagai ciri khas Mesjid Aceh. Bahan
dasar bangunan mesjid Teungku Di Anjong terdiri dari kayu, seng, semen,
batu, papan dan mar-mar. Status tanah bangunan mesjid ini adalah tanah
wakaf dengan luas situs 4 Ha.
Dalam sejarah tercatat bahwa mesjid ini didirikan ketika kerajaan
Aceh diperintah oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah(1287-1290 H/1870-
1874 M).Beliau merupakan seorang raja yang arif,alim terutama dalam
hukum Islam dan menaruh minat yang besar terhadap perkembangan
agama Islam termasuk mendirikan mesjid.
Nama mesjid Teungku di Anjong adalah sebuah julukan yang
diberikan masyarakat Pelanggahan dimana tempat mesjid itu berdiri untuk
9
mengenang dan menghormati sang ulama tokoh pendiri mesjid tersebut.
Penobatan nama Teungku di Anjong adalah gelar yang dianugerahka
dengan ungkapan Tengku yang ”dianjong” yang berarti disanjung atau di
muliakan.
Syekh Abubakar Husin Bafaqih atau yang dikenal dengan
”Teungku di Anjong” sebelum mendirikan mesjid terlebih dahulu
memanfaatkan rumahnya yang sangat sederhana sebagai tempat
pengajian dan asrama bagi murid–muridnya yang memperdalam agama
Islam dan bermalam di sana. Oleh karena perkembangannya semakin
hari semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung murid–
muridnya, akhirnya beliau mendirikan mesjid yang bukan hanya
difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk
bermusyawarah, kepentingan pengajian, dan lain–lainnya. Kemudian
mesjid tersebut dikenal dengan mesjid Teungku di Anjong sesuai dengan
julukan yang diberikan masyarakat kepada ulama Syekh Abubakar bin
Husin Bafaqih sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Mesjid Teungku di Anjong selain berfungsi sebagai sarana tempat
shalat dan kegiatan - kegiatan ibadah lainnya, pada masa
mempertahankan kemerdekaan Indonesia mesjid ini pernah dijadikan
markas perjuangan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan
penjajah Belanda (Zein,1999:21). Jadi mesjid Teungku di Anjong tercatat
sebagai salah satu mesjid bersejarah di Kota Banda Aceh.
1
B. Mesjid Ulee Lheu
Mesjid Ulee Lheu terletak di desa Ulee Lheu kecamatan Meuraksa
Kota Banda Aceh. Menurut catatan inventaris benda cagar budaya tidak
bergerak di Nanggroe Aceh Darussalam yang dikeluarkan oleh kantor
suaka peninggalan sejarah dan purbakala Aceh dan Sumatera Utara
tahun 2001 luas situs mesjid Ulee Lheu 172 M2, kepemilikan negara yang
didirikan di atas tanah berstatus waqaf.
Mesjid Uee Lheu yang merupakan bangunan abad 19 M sudah
mengalami perbaikan pada tahun 1989 atas biaya swadaya
masyarakat,akibat perbaikan ini, mesjid tersebut tidak insitu lagi.
Mengunjungi mesjid ini dapat ditempuh melalui jalan Sultan Iskandar
Muda kira-kira 5 km arah barat Kota Banda Aceh.
Melihat gaya mesjid ini dari arah timur laut mirip gaya gotik (Eropa),
terutama pada lengkungan pilar pintu masuk dan sayap. Mesjid ini tidak
memiliki kubah dan tidak ada menara, atapnya terdiri dari seng. Pada
bagian puncak serambi mesjid ini terdapat ukiran Al-Qur’an yang mirip
dengan bentuk kubah. Mesjid ini sudah banyak mengalami perubahan,
terutama pada dasar mesjid seperti lantai sudah menggunakan cor beton
dan balok sebagai tiang penyangga.
Beberapa hiasan dijumpai pada mesjid ini seperti pada tangga
mesjid dan dinding terdapat pola hias kaligrafi bahasa arab, ada belah
ketupat dan sulur-sulur daun, setangkai bunga teratai. Jendela mesjid ini
dibuat dari kayu jati dengan model gaya Eropa. Nampaknya mesjid ini
1
masih terawat dengan rapi, tetap berfungsi dengan baik. Letaknya yang
strategis di persimpangan jalan Ulee Lheu selalu banyak dikunjungi dan
dipandang orang. Mesjid ini merupakan salah satu harapan dan
kebanggaan masyarakat khususnya warga Ulee Lheu, namun sayang
musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 telah menghancurkan
sebagian mesjid ini.
C. Mesjid Indrapuri
Di Kabupaten Aceh Besar sebenarnya mesjid kuno banyak
dijumpai, namun keberadaanya telah dihancurkan dan didirikan mesjid
baru atu hancur kaarena faktor alam sehingga tidak berfungsi lagi. Hanya
ada beberapa mesjid yang masih tersisa dan dapat diperoleh informasi
yang memadai. Diantara mesjid tersebut yaitu mesjid Indrapuri dan
mesjid Indrapurwa. Berikut akan dijelaskan riwayat singkat dari mesjid
tersebut.
Nama Indrapuri yang ditabalkan untuk mesjid ini adalah diambil dari
nama tempat ”Indrapuri” dimana mesjid tersebut didirikan dalam
Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar sekitar 25 Km sebelah timur
Kota Banda Aceh.
Mesjid Indrapuri memilliki latar belakang sejarah yang panjang.
Pada dasarnya mesjid ini didirikan di atas pertapakan sebuah benteng
atau bekas candi Hindu yang dialih fungsikan oleh raja yang sudah
memeluk agama Islam waktu itu.
1
Adalah suatu proses yang menarik, suatu perubahan evolusi
kebudayaan dan revolusi ideologis dimana terjadinya perubahan dari
sebuah candi menjadi mesjid berlangsung secara alamiah tanpa
kekerasan setelah melewati kurun waktu yang panjang melalui perubahan
budaya sebuah komunitas.
Bagaimana terjadi sebuah perubahan dari sebuah bangunan suci
Umat Hindu menjadi tempat sakral umat Islam memang suatu hal yang
menarik untuk dikaji. Tersebutlah sebuah kisah bahwa ketika Kerajaan
Lamuri yang masih Hindu berkuasa sekitar abad 12 M, datanglah
serombongan bajak laut Cina untuk menjadikan Kerajaan Lamuri sebagai
daerah takluknya, permintaan ini ditolak oleh Raja Lamuri. Akhirnya terjadi
peperangan yang mengakibatkan tentara Lamuri terdesak. Ketika itu pula
ada seorang ulama penyebar agama Islam yang bernama Teungku
Abdullah Lampeuneueun (Abdullah Kan’an) yang berasal dari Perlak Aceh
Timur. Ia datang bersama Meurah Johan, seorang pangeran putra
mahkota Kerajaan Lingga di Aceh. Tujuannya adalah mengajak raja dan
seluruh rakyat Kerajaan Lamuri masuk agama Islam (Zain,1999:23).
Oleh karena raja dan tentara kerajaan Lamuri sudah terdesak oleh
bajak laut Cina, maka diputuskan raja mau menerima tawaran dari
Teungku Lampeuneueun, sehingga atas kerjasama yang baik mampu
mengusir bajak laut dari Cina. Akhirnya baginda Raja Lamuri memeluk
agama Islam. Setelah raja resmi memeluk agama Islam, maka seluruh
wilayah kekuasaan Lamuri diperintah di bawah naungan kerajaan Islam
1
pada abad ke-13. Nama Raja Lamuri diberi gelar oleh Teungku
Lampeuneueun ”Sultan Alaiddin Johansyah Dhilullah Fil’alam”. Kemudian
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) kerajaan ini
takluk di bawah kerajaan Aceh Darussalam. Sebagai tempat peribadatan
candi sudah dialih fungsikan menjadi mesjid, hingga sekarang mesjid
tersebut masih dapat disaksikan dan berfungsi dengan baik serta menjadi
benda cagar budaya yang dilindungi.
D. Mesjid Indrapurwa
Sebelum tsunamai menghantam Aceh, di Kabupaten Aceh Besar
ada sebuah mesjid kuno yang dikenal dengan mesjid ”Indrapurwa”.
Mesjid Indrapurwa terletak di Desa Lambadeuk Kecamatan Pekan Bada
Aceh Besar, kira-kira 10 Km ke arah barat Kota Banda Aceh. Untuk
mencapai mesjid ini bisa ditempuh melewati jalan pasar Ulee Lheu. Arah
ke lokasi ini banyak dijumpai tebat ikan dan berdekatan denagn daerah
pesisir pantai.
Sebenarnya kawasan ini ada beberapa bangunan kuno seperti
meunasah sebagai tempat ibadah, namun bangunan tersebut tidak
berbekas lagi. Sebagai sebuah bangunan suci umat Islam yang masih
bisa dijumpai dengan fungsi aslinya adalah mesjid Indrapurwa, namun
tidak banyak informasi yang dapat diketahui dari mesjid ini karena belum
ada penelitian mendalam dan pemeliharaan secara rutin dari pemerintah.
1
Dari sudut historis mesjid ini didirikan abad 17 M, ketika kerajaan
Aceh mencapai puncak kejayaannya. Dalam sejarah tercatat bahwa abad
ke 17 M merupakan abad miliknya kerajaan Aceh Darussalam, terlebih
lagi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 -1636).
Dengan demikian bisa dikatakan pada masa ini banyak bangunan yang
didirikan termasuk mesjid yang salah satu diantaranya adalah mesjid
Indrapurwa.
Apabila dilihat dari konstruksinya, mesjid Indrapurwa didirikan
dengan menggunakan bahan dari batu dan kayu, luas bangunannya 10,60
x 10,60 m didirikan di atas tanah waqaf dengan luas situs 25 x 50 m.
konstruksi mesjid Indrapurwa terakhir terdiri dari lantai beton, tiang
kayu, dinding beton dan atap seng.
Mesjid ini dirancang dengan atap tumpang yang sudah dimodifikasi
sebagai ciri khas ”mesjid Aceh”, dan konstruksi semi permanen yang
terkesan terpisah dengan bangunan dasar mesjid. Apabila diamati dari
bagian dalam, bangunan ini dibangun mirip dengan mesjid Indrapuri yang
dibangun di dalam tembok seperti benteng pertahanan, namun jika
diamati dari luar bangunan ini mirip dengan mesjid Tgk di Anjong desa
pelanggahan. Bagian lain yang terdapat diluar area mesjid yang masih
utuh dari bawaannya adalah ”guci” besar yang diperuntukkan sebagai
tempat mencuci kaki sebelum masuk ke dalam mesjid, serta injakan dari
batu persis di samping ”guci”. Untuk memasuki mesjid harus menaiki dua
anak tangga dan turun dua anak tangga juga.
1
Mimbar asli mesjid Indrapurwa terletak di dalam mesjid baru yang
dibangun berdampingan dengan mesjid kuno yang ada. Sebelum tsunami
mesjid tersebut masih dapat disaksikan, namun sangat disayangkan
mesjid ini tidak termasuk dalam benda cagar budaya yang dilindungi.
Kawasan Lambadeuk Kecamatan Pekan Bada lokasi berdirinya mesjid
kuno Indrapurwa merupakan salah satu daerah yang paling parah dilanda
tsunami. Seiring dengan musibah tersebut ribuan penduduk di sana
menjadi korban, bersamaan dengan itu pula mesjid Indrapurwa turut
musnah. Sebagai benda peninggalan sejarah hanya tinggal kenangan dan
tidak banyak diketahui orang.
4. Peninggalan Sejarah di Aceh Kaitannya dengan Kesadaran Sejarah
Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa di Nanggroe Aceh
Darussalam cukup banyak terdapat benda peninggalan sejarah, baik
peninggalan sejarah bergerak maupun yang tidak bergerak. Kemudian
dalam uraian tulisan ini yang telah disebutka hanya merupakan gambaran
sepintas dari sebagian kecil peninggalan sejarah yang ditampilkan.
Sesungguhnya masih banyak peninggalan sejarah di Aceh yang perlu
dicatat dan dilestarikan sehingga dapat dipublikasi dan dikenal secara
luas.
Banyaknya peninggalan sejarah yang rusak dan terabaikan di Aceh
adalah tidak terlepas dari beberapa faktor yaitu kerusakan fisik, kerusakan
mekanis, pelapukan biologis, pelapukan khemis dan kerusakan faktor
1
manusia. Diantara faktor yang telah disebutkan, kerusakan oleh faktor
manusia termasuk faktor yang paling berbahaya, karena akibat ulah
manusia suatu peninggalan sejarah dapt kehilangan jejaknya.
Dalam masalah sebagaimana tersebut di atas, terlihat jelas bahwa
manusia atau masyarakat dalam hal ini teramasuk pemerintah
memegang peranan penting dalam melestarikan dan menyelamatkan
warisan budaya bangsa.
Kondisi sekarang di Aceh menunjukkan adanya suatu gejala bahwa
diantara masyarakat terutama generasi muda kurang memperhatikan
masa lampaunya. Orientasinya tertuju pada masa kini dan yang akan
datang, masa lampau dianggap sesuatu yang sudah berlalu dan kurang
bermakna. Oleh karena hal yang demikian berpengaruh pada upaya
pemeliharaan dan perlindungan benda-benda peninggalan sejarah yang
ada.
Apabila dilihat keadaan peninggalan sejarah di Aceh sekarang ini
memang sangat memprihatinkan, di samping banyak yang musnah
karena faktor gempa bumi dan tsunami sebagai bencana alam, juga
hancur karena ulah manusia yang kurang memiliki kesadaran sejarah.
Banyak diantara peninggalan sejarah di Aceh yang hilang tidak jelas
keberadaannya atau rusak terabaikan begitu saja. Selain contoh yang
sudah disebutkan sebelumnya seperti batu Aceh dari berbagai makam
yang ada, mesjid kuno dengan berbagai atributnya yang sudah musnah,
masih banyak peninggalan sejarah lainnya di Aceh yang perlu mendapat
1
perhatian serius dari berbagai pihak terutama instansi terkait yang
menangani masalah tersebut. Sebagai contoh adalah penanganan
masalah hotel Aceh yang menurut rencana akan didirikan hotel baru di
situ. Taman sari yang dilestarikan sebagai taman bersejarah yang di
dalamnya juga terdapat tugu peringatan pembacaan teks proklamasi
pertama di Aceh juga sudah dipagar (bukan dipugar)untuk didirikan
bangunan di dalamnya. Demikian juga keberadaan benda-benda
peninggalan sejarah yang bergerak di Aceh seperti meriam, lampu hias
yang asli yang ada di Mesjid Raya Baiturrahman dan Pendopo Gubernur
Aceh perlu dipertanyakan. Belum lagi naskah kuno Aceh yang banyak lari
ke luar negeri seharusnya perlu penyelamatan dan ditempatkan ke daerah
asalnya sehingga peninggalan sejarah yang ada akan mampu
mengungkapkan masa lampau yang sangat berguna untuk masa
sekarang dan masa yang akan datang.
5. Catatan Akhir
Sebagai penutup ada beberapa hal yang perlu disampaikan
disini sehubungan dengan peninggalan sejarah di Aceh. Sudah dapat
dipastikan bahwa setiap adanya perubahan akan membawa dampak yang
luas dalam bergagai segi. Terjadinya perubahan pembangunan di Aceh
pasca tsunami telah membawa dampak yang besar terhadap kelestarian
peninggalan sejarah di Aceh. Oleh karena itu perlu adanya komitmen
yang tegas dari berbagai pihak terutama pemerintah bahwa
1
menyelamatkan dan melindungi peninggalan sejarah merupakan
kewajiban bersama. Oleh karena itu dalam penanganannnya harus
melibatkan berbagai unsur terkait yang profesional.
Perlu adanya usaha pembinaan dan peningkatan kesadaran
sejarah kepada masyarakat untuk menjaga dan memelihara peninggalan
sejarah, sehingga kekayaan khasanah bangsa tetap terpelihara.
Diharapkan supaya pemerintah memberikan perhatian khusus
terhadap peninggalan sejarah di Aceh, secara maksimal diupayakan
menyelamatkan dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada.
Sosialisasi Undang-undang no.5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya
perlu diterapkan secara luas pada instansi- instansi pemerintah, sehingga
setiap peninggalan sejarah yang ada akan ditangani penuh tanggung
jawab dan tidak secara semena-mena.
Kiranya perlu disadari bahwa peninggalan sejarah yang ada di
Aceh dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan termasuk sebagai
sumber sejarah, kepentingan ilmu pengetahuan lainnya, kepariwisataan
dan lainnya, juga yang lebih penting adalah sebagai wujud jati diri dari
sebuah bangsa. Wallahu a’lam bissawab.
1
DAFTAR BACAAN
Ambary, Hasan Muarif, ”Evaluasi Metode Penelitian Bidang Arkeologi
Islam”, dalam Rapat Evaluasi Metode Penelitian Arkeologi II,
Jakarta: uslit Arkenas, 1985.
__________________,”Persebaran Kebudayaan Aceh di Indonesia
melalui Peninggalan Arkeologi Khususnya Batu-batu nisan, dalam
majalah INTIM,edisi khusus no.4 thn.ke VII, hal.9-16, Jakarta:
INTIM, 1988.
Syafwandi, ”Konsep Dasar Tentang Pelestarian Arsitektur Tradisional
Aceh”, dalam Majalah INTIM, Jakarta: INTIM, 1988.
Wiryoprawiro, Zein,M, Perkembangan Arsitektur Mesjid di Jawa Timur,
Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1986.
Yatim, Othman Mohd, Batu Aceh, Early Islamic Gravestones in Peninsular
Malaysia, Kuala Lumpur: Muzeum Negara, 1987.


Kompleks Makam Teungku Di Bitai dan Makam Ulama Turki

Makam Sultan kedua Aceh Darussalam Sultan Salahuddin

Makam Sultan kedua Aceh Darussalam Sultan Salahuddin

sedikit tentang persiapan dan jalannya perang dalam agresi militer oleh Belanda yang pertama ke Aceh

Saya Kutip Dari Buku DE ATJEH OORLOG (PERANG ACEH)
Karya : PAUL VAN'T VEET yaitu seorang wartawan asal BELANDA



diantara pasukan yang dikirim untuk menyerang aceh pada agresi yang pertama oleh belanda berjumlah 3000 orang100 orang fuselir Eropah,bintara dan 118 orang perwira,dan di tambahkan pula 1000 orang pekerja paksa untuk tenaga pengangkut dan juga termasuk 220 orang wanita indonesia baik sebagai tenaga2 kerja didapur yang kebanyakannya berasal dari jawa dan ambon, sebanyak 8 orang dalam setiap kompi menurut kebiasaan norma2 ekpedisi.dan 300 orang pembantu2 perwira yang berjumlah 118 orang, sejumlah 2 orang untuk seorang perwira dan selebihnya untuk tenaga2 yang diperkerjakan di kantin.

para tentara hindia-belanda juga menggantikan penggunaan senapan2 yang lebih modern ntk melakukan ekspedisinya yaitu senapan2 "voorladers" dengan senapan2 achterladers..yaitu senapan yang diisi pelurunya di belakang laras yang dikala itu termasuksenapan2 modern dgn laras2nya yang panjang sekali serta dilengkapi pula dengan sangkur yang menonjol jauh ke atas kebanyakan serdadu2 itu. akan ttp suasana yang mendesak itu telah mendorong untuk melakukan penggantian peralatan2 itu seperti kelakuan seorang penembak cepat.

hal itu tentu saja dapat dilakukan asal saja orang yang menggunakannya dengan baik. akan tetapi hal itu tidaklah dapat dilakukan oleh batalion2 untuk Aceh itu. Batalion XII sdkt banyaknya berlatih dgn senapan2 archterladers itu. akan ttp batalion IX memperoleh senapan2 jenis baru itu tapat sebelum mereka sebelum diberangkatkan, sedangkan batalion III msh ttp jg menggunakan senapan2 voorladers.

dalam menghimpinkan ekspedisi bukanlah pekerjaan yang mudah.seperti keadaan marine yang di beritakan oleh Loudon ke Den Haag "sangatmenyedihkan : kapal2 sudah tua, periuk2 uapnya sudah bocor". maka dengan susah payah di persiapkan 6 buah kapal perang kecil. pasukan2 tentara akan diangkut oleh 2 buah kapal milik pemerintah dan 6 buah kapal milik 'nederlandsch indischestoomvaart maatschappij'.

beberapa hari kemudian berlabuhlah kapal2 belanda di ppantai aceh kapal yang ditumpangi oleh Nieuwenhuyzen, "De Citadel van Antwerpen" melepaskan tembakan meriam ke arah kubu2 pertahanan di pantai aceh.sejak dari pertama, keadaan perang belnda si aceh itu, ditinjau dari segi kemiliteran, berlainan sekali daripada peperangan yang pernah dilakukan oleh belanda.

Kalau di nusantara di pandang normal, bahwa pendaratan pasukan2 belanda dengan jumlahnya yang begitu besar srta merta di jawab dengan pengunduran diri oleh pihak lawan yang tidak terorganisi itu.maka Aceh tidak, malah menjadi perlawanan sengit nerupakan hal yang pokok sekali.pada waktu mendarat saja batalion2 itu sudah menderita kerugian 9 orang tewas dan 46 orang luka2,kebanyakan disebabkan oleh serangan berkelawang. serangan2 sengit yang dilancarkan oleh orang2 aceh yang jumlahnya berbondong2itu hanya dapat di tangkis oleh fuselir2belanda dengan sangkur2 mereka secara tidak cekatan sama sekali.juga meriam2 orang acehtampaknya lebih ungguldari pada yang pernah dimiliki oleh belanda.pada hari pertama saja kapal 'citadel' menerima 12 butir tembakan peluru meriam.

dan akhirnya belanda bs jg menembus sampai ke sebuah kubu pd tggl 10 april 1873 yang disangka itu adalah istana sultan,krn bentuknya sebuah ruang yang berpagat dan didalamnya ada beberapa
buah rumah.ternyata ruang itu bukanlah istana sultan, tetapi sebuah masjid yang (kita kenal sekarang mesjid baiturrahman) yang begitu gigih di pertahankan, seolah-olah sultan sendiri berada didalamnya.mesjid itu di bakar dan dapat direbut yang menderita kerugian amat besar (krn banyak prajurut belanda yang tewas). akan ttp pada hari itu jg Kohleh memerintahkansupaya pasukannya meninggalkan bangunan tersebut, karena menurut pendapat mereka berada dalam keadaan yang letih sekali dan sukar untuk bertahan dalam suasanayang mengancam itu. dan tak lama kemudian mesjid itu diduduki kembali oleh pihak aceh yang ria kemenangan itu.suata tempik perang mereka terdengar sangat mengerikan. terutama pada malam hari. perebutan kembali secara demikian itu lagi2 merupakan cara tradisionol yang tiada taranya dalam peperangan kolonialpada masa2 lampau, sehingga tiga hari kemudian Kohler memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan itu dengan menderita kerugian yang amat besar.

Kesalahan itu telah mengorbankan dirinya sendiri, maka pada tanggal 14 april sebutir peluru telah menembusi dadanya lalu tewas.suatu saat yang telah meruntuhkan semangat ekspedisi.

Seranga kedalam telah di teruskan dalam keadaan yang tidak menguntungkan sama sekali.hubungan dengan bivak2 yang letaknya hanya beberapa kilometer dari mesjid selalu diancam oleh gerilyawan yang di pelopori oleh orang2 yang bepakaian putih dan tanpa menghiraukan, bahkan yang menginginkan syahid, telah menyerbu batalyon2 tentara hindia-belanda. pada malam hari selalu saja terjadi serangan dan tembakan. pada tanggal 16 April 1873 dua dari 3 batalyon menyerang istana. Akan tetapi mereka itu di pukul mundur dengan menderita kerugian seratus orang tewas dan luka12.

Kemudian pada malamnya Van Daalen mengadakan sidang pengadilantentara di lapangan. Bahagian terbesar kolonel2 itu berpendapat bahwa lebih baik di ambil keputusan untuk kembalike pangkalan saja.Karena disini tampaknya di perlukan peralatan2lain dari pada yang dimiliki dewasa ini. dan jdan di kapal citadel jg di rundingkan lagi ttg lanjutan ekspedisi dibawah pimpinan nieuwenhuyzen.para perwira berpendapat bahwa 'telah diketahui dengan sungguh2, bahwa pihak lawan yang gigih itu benar2 memiliki kekuatan yang amat besar.

kemudian nieuwenhuyzen meminta kekuasaan supaya ekpedisi untuk kembali, yang diperolehnya pada tanggal 23 april 1873. Dua hari kemudian semua pasukan naik ke kapal. pasukan induk berada tepat 17 hari di darat . dari 3000 orang anggota pasukan, telah tewas 4 orang perwira dan 52 orang bawahan, sedangkan yang luka2 berjumlah 27 orang perwira dan 411 orang bawahankrugian Belanda dalam perang aceh itu berjumlah hampir 500 orang dari 3000 orang anggota pasukan yang sejak berangkat dan kembali ke pangkalan memakan waktu belum sampai enam minggu lamanya.

Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam

12 01 2009

Hampir dalam seluruh aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar muda merupakan masa kegemilangan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan) yang adil dan universal, tetapi juga telah mampu melaksanakan secara adil dan universal pula. Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanya dari rakyatnya, tetapi dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia.


Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dia juga telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang sangat kaya dengan berbagai sumber daya a!amnya, tetapi kekayaan itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya.

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga pada masa pemerintahannya, Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia. Selama lebih kurang 30 tahun masa pemerintahannya, yaitu (1606 - 1636 M) dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia.

Silsilah, Kelahiran dan Masa Kecil Sultan Iskandar Muda

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti mengenai tahun kelahiran Sultan Iskandar Muda. Namun dari hasil identifikasi atas beberapa sumber yang ada menegaskan bahwa dia lahir sekitar tahun 1583. (Denys Lombard, 1991: 225-226). Ibunya keturunan keluarga Raja Darul Kamal (Malaka) bernama Puteri Raja Indra Bangsa, yang juga dikenal dengan nama Paduka Syah Alam, Puteri Sultan Alaidin Ri’ayat Syah (1589-1604). Sultan Ri’ayat Syah adalah putera Sultan Firman Syah bin Sultan Inayat Syah. ( Hikayat Aceh : par. 16, 72). Sedangkan ayahnya bernama Sultan Alauddin Mansur Syah putera dari Sultan Abdul Jalil bin Sultan ’Alaiddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar (1539-1571). Pada kurun-kurun berikutnya keturunan ayahnya inilah yang dikenal sebagai keturunan Raja Makota Alam I (Denys Lombard: 1991, 223). Dengan demikian berarti Sultan Iskandar Muda merupakan percampuran darah Malaka dan Aceh.

Pada masa kecilnya, Iskandar Muda yang dijuluki Raja Zainal atau Raja Silan ini sangat senang bermain boneka kuda, gajah dan biri-biri yang dapat bertarung yang terbuat dari emas. (Hikayat Aceh : par.124, 119). Selain itu dia juga ikut bermain panta, (Hikayat Aceh : par.124, 120) dan kalau pada malam hari ketika bulan terang dia mengadakan permainan meuraja-raja bersama teman-temannya (Zainuddin, 1957: 17).

Pendidikan Sultan Iskandar Muda

Sultan lskandar Muda yang pada masa bayinya sering disebut Tun Pangkat Darma Wangsa, (Zainuddin: 1957, 21) dibesarkan dalam lingkungan keluarga istana, sehinga sejak masa kecilnya telah mengetahui bagaimana seluk beluk kehidupan adat dan tata kerama dalam istana, baik dalam hal sopan santun antar anggota keluarga raja maupun dalam urusan penyambutan tamu dan lain sebaginya. Sejak usia antara 4 dan 5 tahun kepadanya telah diajarkan berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan Agama dengan cara menghadirkan ulama sebagai gurunya. Selain dia, ke dalam istana diikutsertakan juga teman-temannya yang lain untuk belajar bersama. (Zainuddin, 1957: 20)

Ketika usianya mencapai baligh, ayahnya menyerahkan Iskandar Muda bersama beberapa orang budak pengiringnya kepada Teungku Di Bitai (salah seorang ulama turunan Arab dari Baitul Mukadis yang sangat menguasai ilmu falak dan ilmu firasat). Dari ulama ini secara khusus dia mempelajari ilmu nahu. Melihat kecerdasan, ketekunan, kemuliaan sikap dan tingkah laku lskandar Muda telah menjadikannya sebagai salah seorang murid yang paling disayangi oleh Teungku Di Bitai. Karena itu, pada suatu hari gurunya diilhami untuk memberikan satu nama kebesaran kepadanya dengan gelar Tun Pangkat Peurkasa Syah (Zainuddin, 1957: 27).

Semenjak saat itu, panggilan Peurkasa terhadap Iskandar Muda yang masih muda belia semakin populer bukan hanya di kalangan istana saja tetapi julukan itu semakin terkenal hingga ke seluruh pelosok negeri. Dalam kurun-kurun berikutnya, ayahnya Sultan Mansursyah mulai menerima kedatangan ulama-ulama terkenal dari Mekah, di antaranya Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar dan Sekh Muhammad Jamani yang keduanya ahli dalam bidang ilmu fiqah, tasawuf dan ilmu falak.

Selanjutnya hadir lagi seorang ulama yang sangat termasyhur dari Gujarat yakni Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry. Ketiga orang ulama ini telah banyak berjasa dalam mengajarkan dan mengilhami wawasan intelektual Iskandar Muda. Selain itu, dia juga rajin mendatangi dan bertanya kepada ulama-ulama lain yang berada di luar istana untuk mempejarai berbagai ilmu yang belum diketahuinya. Pada saat menjelang dewasa, karena Iskandar Muda memiliki keberanian yang luar biasa dibanding orang lain dalam hal menegakkan kebenaran, maka kawan-kawannya dari barisan pemuda memberinya gelar Peurkasa Alam yang belakangan juga dikenal dengan sebutan Makota (Meukuta) Alam.

Penobatan Sultan Iskandar Muda

Menurut sumber-sumber Eropa yang merujuk pada peristiwa gagalnya penyerbuan Don Martin Affonso di Aceh, menyebutkan bahwa Iskandar Muda dinobatkan sebagai Sultan pada tanggal 29 Juni 1606. Akan tetapi dalam naskah Bustanus-Salatin ditemukan keterangan bahwa dia diangkat sebagai Sultan pada 6 Zulhijjah 1015 H (awal April 1607 M). (Bustanus-Salatin II, XIII, 23).

Tindakan pertama Sultan Iskandar Muda dalam mengawali karirnya adalah mengamankan golongan yang terdiri dari orang kaya yang sejak tahun 1604 telah bersekongkol menjadi oposisinya istana. Dia menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan segala tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para oposisi yang tidak mau memberikan dukungan dalam upaya menegakkan kebenaran. Di sisi lain, para generasi muda yang sebagian besar merupakan sahabat dan teman-temannya waktu kecil yang pernah belajar mengaji bersama memberikan dukungan yang sangat luar biasa. Itulah sebabnya mengapa kemudian dia disebut sebagai Sultan Iskandar Muda, tidak lain karena dia mempunyai pendukung utama dan bala tentara dari orang-orang muda atau orang-orang yang memiliki semangat muda.

Kebijakan Sultan Iskandar Muda dalam Menegakkan Hukum dan Adat

Karena rakyat Aceh terdiri dan beberapa kaum dan sukee, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat dan menetapkan pimpinan adat pada masing-masing kelompok sukee yang ada. Selain untuk menyatukan mereka pengangkatan pimpinan adat ini juga dimaksudkan untuk mempermudah penerapan berbagai program pemerintahannya. Untuk menjamin langgengnya kerajaan Aceh di bawah panji-panji persatuan, kedamaian dan kemakmuran Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun tata negara atas empat bagian. (Ismuha: 1988, 155)

1. Segala persoalan yang menyangkut tentang adat maka kebijaksanaannya diserahkan

kepada sultan, penasehat dan orang-orang besarnya.

2. Segala urusan hukum diserahkan kepada para ulama yang pada masa Syekh

Nuruddin Ar-Raniry diangkat sebagai qadhi malikuladil.

3. Urusan qanun, majelis adab, sopan santun dan tertib dalarn pergaulan hidup

bermasyarakat, termasuk mengenai berbagai upacara adat diserahkan kepada

kebijaksanaan Maharani (Putroe Phang).

4. Sedangkan urusan reusam (pertahanan dan keamanan) berada dalam kekuasaan

Panglima Kaum atau Bentara pada masing-masing daerah.

Segala kebijakan mengenai adat, hukum, qanun dan reusam itu kemudian tertuang dalam sebuah hadih maja yang hingga saat ini masih dikenal dalam masyarakat Aceh yang berbunyi :

Adat bak poteu meureuhum,

hukom bak syiah kuala

Meujeuleueih kanun bak putroe phang,

reusam bak bentara (laksamana).

Setelah menetapkan orang-orang yang bertanggungjawab mengatur masingmasing urusan tersebut, Sultan Iskandar Muda kemudian menyusun dan mengeluarkan berbagai qanun yang akan dijakdikan pegangan. Mengenai aturan yang menentukan martabat, hak dan kewajian segala Uleebalang serta pembesar kerajaan tertuang dalam sebuah qanun yang dikenal dengan adat meukota alam.

Menurut naskah Adat Aceh, dalam menyusun qanun tersebut Sultan Iskandar Muda melibatkan para Syaikhul-Islam, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Penghulu Karkun Raja Setia Muda, Katibul Muluk Sri Indra Suara dan Sri Indra Muda beserta para perwiraperwira Balai Besar untuk membuat dan menyusun qanun (peraturan) yang sesuai dengan tatakerama dan maklumat Raja. Di dalamnya memuat sebanyak sembilan fasal. Pada bagian pertama sangat jelas menggambarkan watak kewibawaan Sultan sebagai penguasa, di mana di dalamnya menguraikan tentang perintah segala raja raja.

Selain itu, qanun yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda juga dapat ditemukan dalam beberapa bagian dari naskah Tajus-Salatin yang ditulis oleh Bukhari Al- Jauhari. Bahkan beberapa bab dalam naskah ini secara khusus membahas secara manusiawi tentang bagaimana hubungan yang baik antara raja dengan rakyat termasuk masyarakat non muslim dan begitu juga sebaliknya. Dalam naskah ini juga ditetapkan mengenai pegawai raja, pemimpin perang, penghulu dan uleebalang (Tajus-Salatin: 16). Dalam naskah Mahkota Raja-raja pada bagian ketiga secara khusus membahas tentang adat majelis raja-raja.

Dari beberapa naskah kuno peninggalan abad ke-16 menunjukan bahwa Sultan Iskandar Muda memiliki kebijakan yang luar biasa dalam menetapkan berbagai qanun (peraturan) yang menjamin kelangsungan hidup kerajaan Aceh. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan rencong sebagai lambang kehormatan dan cap sebagai lambang kekuasaan tertinggi. Tanpa rencong berarti tidak ada pegawai yang mengaku bertugas menjalankan perintah raja. Setiap pegawai istana yang bertugas menyambut tamu asing wajib mengenakan rencong.

Demikian pula halnya sebuah qanun (peraturan) yang dikeluarkan oleh raja akan mempunyai kekuatan setelah dibubuhi cap, tanpa cap peraturan itu tidak dapat dijadikan pegangan. Salah satu bentuk cap yang masih tersisa dari masa Kesultanan Aceh adalah Cap Sikureueng (cap sembilan). Pada lingkaran bagian tengah dari cap ini tertera nama raja yang sedang memerintah, sedangkan pada bagian sekeliling pinggirnya tertera nama delapan orang pendahulunya yang besar-besar. (Anomimous, 1988: i).

Selain itu, Sultan Iskandar Muda juga menetapkan qanun seuneubok lada yang memuat tentang berbagai peraturan mengenai pertanian dan peternakan. (Zainuddin. 1957: 103). Dalam hal ini Sultan Iskandar Muda menetapkan beberapa sumber pajak penghasilan sebagai pemasukan devisa kerajaan. Sebagian besar kekayaan negara pada masanya berasal dari hasil sumber daya alam, baik berupa pajak sumbangan hasil pertanian, perikanan maupun dari hasil tambang.

Hubungan Persahabatan dengan Dunia Luar

Sultan Iskandar Muda juga telah menjalin hubungan perdagangan dengan bangsabangsa asing. Berdasarkan laporan yang dibuat sesudah ekspedisi sida-sida Cheng Ho ke lautan Selatan mengungkapkan bahwa kehadiran kapal-kapal Cina di Aceh merupakan bukti nyata bahwa bangsa Cina telah menjadikan daerah Aceh sebagai pemasok rempahrempah. (Groeneveldt, 1960: 85-88). Dalam sebuah peta laut Cina sebelum abad 17 ditemukan petunjuk jalan dari Banten ke Aceh melalui Barat Sumatera, juga melalui jalur-jalur lintas dari Aceh ke Malaka dan ke India. Selain itu, sebagai bukti yang kuat tentang hubungan Cina dan Aceh dapat dilihat dari keberadaan Lonceng Cakra Donya yang hingga saat terdapat di Museum Negeri Aceh. Lonceng ini dihadiahkan oleh Kaisar Cina kepada Sultan Aceh dalam rangka mengikat tali persahabatan. (Anonimous, 1988: i).

Hubungan dagang Aceh dengan bangsa Siam sudah tercatat sejak masa kerajaan Pasai tahun 1520. Hubungan dagang tersebut semakin meningkat pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar Muda. (Adat Aceh, 164b). Dalam Hikayat Aceh sarrga jelas disebutkan tentang adanya utusan-utusan dagang yang berasal dari Siam, Cina dan Campa pada masa Sultan Iskandar Muda. (Hikayat Aceh, Par. 214 - 223) dan (G.Coedes, Etats hindouises, 1964: 390).

Selain itu, saudagar India pada masa Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu bangsa yang memegang bagian terbesar dari dunia perdagangan di Aceh. (Lancaster, 1940: 90). Selain membeli berbagai jenis barang berupa tembikar dan rempah-rempah, para saudagar India (dari Gujarat dan Malabar) itu juga membawa barang dagangan berupa bandela bandela kapas, cita, ampiun dan guci besar yang berisi minyak susu lembu yang kesemuanya sangat digemari orang Aceh pada masa itu. (Dampier, 1723: 178).

Hubungan persahabatan dengan bangsa Eropa yang dalam sebagian besar naskah Melayu menyebut mereka bangsa Peringgi dapat dilihat dari adanya surat-surat raja Inggris, Penguasa Perancis, Portugis dan Belanda. (Djajadiningrat, CritOv, 170) Sultan Iskandar Muda menjalin hubungan persahabatan dengan bangsa Peringgi tersebut bukan hanya dalam bidang perdagangan saja, tetapi juga mencakup bidang sosial, politik dan keamanan.

Selain itu, secara khusus Sultan Iskandar Muda juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Turki melalui sepucuk surat persahabatan yang ditulis oleh Kadhi Malikul Adil Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Surat persahabatan itu selanjutnya disampaikan oleh utusan rombongan Aceh yang dikepalai oleh Pangiima Nyak Dum. (Zainuddin, 1957: 114-121)

Sejak saat itu antara Kerajaan Aceh dan Turki terjalin hubungan yang sangat harmonis, bukan hanya dalam bidang perdagangan saja, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Penaklukan Malaka I

Setelah berhasil menyatukan kekuatan wilayah Pase (Sumatera), Sultan Iskandar Muda kembali merangcang sebuah usaha penyerangan terhadap wilayah yang terletak di semenanjung tanah Melayu. Wilayah ini dulunya sekitas tahun 1540-1586 masih merupakan wilayah kekuasaan Aceh. Namun karena sebuah hasutan, akhirnya wilayah ini jatuh ke tangan penjajah Portugis. Oleh karena itu, pada tahun 1616 Sultan Iskandar Muda bersama para pembesar Kerajaan Aceh menyusun suatu rencana penyerangan untuk merebut kembali wilayah ini.

Pada tahun 1618, Kedah dapat diambil alih oleh Kerajaan Aceh dari tangan penjajah Portugis. Kemudian pada tahun 1619 ditaklukkan pula wilayah Perak dan Pahang. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda telah rneliputi hampir seluruh Sumatera dan Malaka, meskipun sebagian kecil kota Malaka masih diduduki bangsa Portugis, seperti kota La Pamosa yang didirikan oleh Admiral Alfonso d’Albuquerque sekitar tahun 1511. (Zainuddin, 1957: 128-132). Salah satu penyebab sulitnya menaklukan benteng Potugis yang terdapat dalam kota La Pamosa di Malaka karena Sultan Djohor campur tangan membantu Portugis. Selain dia telah mengingkari janji kesetiaannya terhadap Aceh, dia juga melupakan kalau dirinya masih mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan keluarga Sultan Aceh semenjak Sultan Alauddin Mansursyah. Oleh karena itu, pasukan yang diperintahkan Sultan Iskandar Muda dengan tekad yang luar biasa akhirnya berhasil mengepung daerah itu dan menangkap Sultan Johor bersama beberapa orang keluarga dekatnya.

Ketika pasukan Aceh sedang membawa tawanan perang untuk kembali ke Aceh, Portugis rnendapat bantuan, sehingga perang sengit antara kedua belah pihak tidak dapat dihindari. Kapal-kapal perang Eropa dan Gua mulai rnenyerang dari segala arah membuat posisi armada Aceh semakin lemah. Menghadapi penyerangan Portugis yang demikian besar, kapal-kapal armada Aceh terpaksa mengundurkan diri ke beberapa bagian pesisir dan muara di Bintan, kampar. Riau dan Benggalis. Sementara itu, bentengbenteng Aceh di Malaka yang telah berhasil diduduki sebelumnya masih tetap rnampu dikuasai.

Menghadapi kekalahan itu, selanjutnya pasukan Aceh terpaksa menghentikan perang atas permintaan Gubernur Portugis yang berkuasa di Malaka pada saat itu. Tidak berapa lama berselang, Laksamana Aceh dan Gubemur Portugis di panggil untuk menghadap kepala perang Portugis guna mengadakan perundingan di atas kapal perang besar Portugis. Dengan berkedok perundingan, ternyata kepala perang Portugis mencoba membuat tipuan baru dengan cara melarikan Laksamana Aceh dengan beberapa orang perwiranya yang telah rnemasuki kapal itu tanpa tawar menawar.

Laksamana Aceh dengan beberapa orang perwiranya yang telah berhasil dibawa kabur dengan kapal itu tidak dapat menerima penghinaan yang demikian. Oleh karena itu, dengan keberanian yang luar biasa dia membuat perlawanan di atas kapal Portugis itu hingga akhirnya dia tewas. Kekalahan yang harus diterima kerajaan Aceh atas penjajah Portugis di Malaka ini tidak lain disebabkan oleh adanya campur tangan Sultan Johor dalam membantu penjajah. Sementara itu, Aceh masih ragu-ragu dalam menyerang kerajaan Johor, karena masih merasa adanya ikatan tali persaudaraan yang kuat dengan mereka. Namun demikian, kekalahan ini tidak membuat semangat rakyat Aceh patah.

Penaklukan Malaka II

Pada tahun 1615 setelah selesai menyusun dan menetapkan berbagai qanun dalam negeri Asahan, Sultan lskandar Muda kemudian mengatur strategi baru untuk menaklukkkan kembali negeri Malaka. Semua kekuatan armada perang Aceh diperintahkan berlayar menuju Semenanjung dengan berlabuh di Pulau Langkawi lalu menutup kuala Perlis, kuala Kedah, kuala Muda, kuala Meurbok, teluk Pulau Penang, Pulau Jerjak dan menutup kuala Peru. Demikian pula kuala-kuala besar, seperti kuala Karau, kuala Tengah, kuala Kelumpang, pulau Pangkur, teluk Tanjung Burong, kuala Bernam, kuala Perak, kuala Selangor sampai ke teluk Anson.

Begitu juga armada Aceh yang pada saat itu masih berada di teluk Tanjung Balai diperintahkan berlayar menuju Malaka dan berlabuh di pulau Kelang, Tanjung Tuan, kuala Tinggi, Tanjung Kling dan menutup kuala Melaka dan kuala Muar. Satu pasukan kapal perang lain disuruh berlabuh di muka kuala Sarang Buaya, Batu Pahat, kuala Peniti, Pulau Kutub, Tanjung Prai-prai dan menutup kuala Johor Baru untuk selanjutnya masuk ke

sungai Johor lalu mendarat di Tumasik (Singapura). Pasukan lainnya diperintahkan menutup kuala-kuala di Pulau Batam dan sekitarnya. Demikianlah strategi kekuatan pasukan anmada laut Acen yang diperintahkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk mengepung negeri Johor, Pahang dan Malaka dari segala arah.

Daerah yang pertama diserang dan berhasil ditaklukkan adalah Johor. Walaupun Sultan Johor tidak dapat ditawan karena berhasil melarikan diri ke Tambilahan, namun Lingga (Ibukota) kerajaan Johor yang baru akhirnya jatuh ke tangan pasukan Aceh. Sedangkan salah seorang anak Sultan Johor berhasil ditangkap dan dibawa menghadap kepada Sultan Iskandar Muda. Dia kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi Sultan yang baru di negeri Johor dengan dibantu oleh beberapa uleebalang dan ulama Aceh. (Zainuddin: 1957, 154-155). Sementara ayahnya dikabarkan sakit selama dalam pelariannya dan akhirnya meniggal di Tambilahan. Dengan takluknya negeri Johor maka kedudukan bangsa penjajah Portugis di seluruh semenanjung Malaka menjadi semakin lemah. Oleh karena itu, Aceh kemudian dengan sangat mudah dapat rnenaklukkan pula negeri Pahang, Kedah dan Perak. Bahkan sebagian besar para pembesar dan rakyat di sana yang sebelumnya masih memihak dan mendukung Portugis, sejak saat itu mulai berbalik memusuhi mereka.

Penutup

Dilihat dari sepanjang zaman perjalanan sejarah Aceh, hampir dari semua aspek kehidupan menunjukkan bahwa zaman Sultan Iskandar Muda-lah merupakan masa kejayaan Aceh. Dia tidak hanya mampu menyusun dan menetapkan berbagai konsep qanun (undang-undang dan peraturan) yang adil dan universal, tetapi juga mampu melaksanakannya secara adil dan universal pula. Sebagai seorang yang masih sangat muda menduduki tahta kerajaan (usia 18-19 tahun), kesuksesan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam telah mendapat pengakuan bukan hanyadari rakyatnya, tetapi juga dari musuh-musuhnya dan bangsa asing di seluruh dunia.

Sultan lskandar Muda telah berhasil mengatur seluruh aspek kehidupan sedemikian rupa dalam Kerajaan Aceh Darussalarn. Dia telah berhasil menyatukan seluruh wilayah semenanjung tanah Melayu di bawah panji kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam bidang ekonomi, dia telah berhasil menjalin hubungan diplomasi perdagangan dengan berbagai bangsa Asing, sehingga secara internasional Aceh tidak hanya dikenal sebagai sebuah negeri yang kaya dengan berbagai sumber daya alam saja, tetapi kekayaan alam itu benar-benar dapat dinikmati secara bersama oleh rakyatnya. Demikian juga dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan, dia telah menempatkan para ulama dan kaum cerdik pandai pada posisi yang paling mulia dan istimewa. Sehingga Kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan tamaddun di Asia Tenggara yang paling banyak dikunjungi oleh para kaum pelajar dari seluruh dunia.

Oleh karena itu, para pembesar kerajaan bersama seluruh rakyat Aceh akhirnya sepakat memberikan sebuah gelar kehormatan Mahkota Alam kepadanya. Dengan demikian, dia mempunyai nama Iengkap Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Selama lebih kurang 30 tahun, yaitu (1606 - 1636 M), dia telah berhasil membawa Kerajaan Aceh Darussalam ke atas puncak kejayaannya, hingga mencapai peringkat kelima di antara kerajaan Islam terbesar di dunia, yakni setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.

Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas yang telah pernah dihancurkan Belanda. Yang ada sekarang ini merupakan duplikatnya hasil petunjuk Pocut Meurah isteri Sultan Mahmudsyah. Dia masih rnengingat letak Makam Sultan lskandar Muda, karena sebelum dihancurkan Belanda dia sering berziarah ke sana sambil menghitung langkahnya sebanyak 44 langkah dari pinggir Krueng Daroy.

Untuk mengenang kebesaran dan jasa-jasanya, Pemer-intah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/Tahun 1993 tanggal 14 September 1993 telah mengangkat Sultan lskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional. (Anonimous, 1995: 3).

DETIK MENENGANGKAN : RENCANA KUDETA PRABOWO SUBIANTO


"Baca sajalah buku itu. Baca saja.'' Sintong Panjaitan terus berkelit ketika dihujani pertanyaan mengenai peristiwa ''pertemuan panas'' antara BJ Habibie dan Letjen Prabowo Subianto pada Jumat siang, 22 Mei 1998.

Telah lama, publik penasaran atas teka-teki isi pertemuan kedua tokoh itu. Para jurnalis yang hadir pada peluncuran buku "DETIK-DETIK YANG MENENTUKAN" karya BJ Habibie di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis malam (21/9/2007) yang lalu, pun sibuk meminta keterangan Sintong perihal adanya pengepungan pasukan Kostrad di sekitar Istana Negara.


''Pak Sintong, apa benar waktu itu suasana tegang sekali?'' tanya wartawan kepada Sintong. Tapi, Sesdalopbang pada masa peralihan dari Soeharto ke Habibie itu hanya menjawab dengan senyuman. ''Sudahlah, baca saja. Di situ jelas kan,'' ujar Sintong seraya beranjak dari tempat duduknya, kendati berbagai pertanyaan terus menghujani.


Di tengah resepsi yang dihadiri sekitar 2.000 orang itu, Sintong yang menjadi ''orang dekat'' selama BJ Habibie menjabat presiden, memang menjadi bintang. Apalagi dalam buku itu dia disebut-sebut sebagai salah seorang yang menjadi saksi pertemuan sesuai Habibie memecat Prabowo dari jabatan Pangkostrad. Apalagi kabar yang beredar sudah keburu menuduh bahwa Prabowo tidak terima atas keputusan itu. Dan, kebetulan pada bukunya, Habibie dengan jelas-jelas menuliskan isi pertemuan itu.


Dalam buku yang dipersiapkan Habibie selama setahun itu, memang terasa sekali suasana ketegangan yang melingkupi pertemuan Habibie-Prabowo. Bahkan, dalam buku setebal 549 halaman, suasana mencekam itu gamblang sekali dipaparkan oleh Habibie dengan memakan cukup banyak halaman. Habibie memang mengaku bahwa niat Prabowo untuk melindunginya adalah tulus, jujur, dan tepat. Namun, kebimbangan untuk menemui salah seorang putra begawan ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo, saat itu jelas sekali menyergap perasaannya: Apakah perlu saya bertemu? Apa gunanya bertemu? Letjen Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Pak Harto baru 24 jam meletakkan jabatannya. (hal 95)


Kegamangan Habibie berlanjut hingga menjelang acara pertemuan. Menurut dia, siapa saja yang menghadap presiden tidak diperkenankan membawa senjata: Tentunya itu berlaku pula untuk Panglima Kostrad. Namun, bagaimana halnya dengan menantu Pak Harto? Apakah Prabowo akan juga diperiksa? Apakah pengawal itu berani? (hal 95).

Adanya pernyataan ini memang sedikit menguak spekulasi yang berkembang mengenai peristiwa itu. Bahkan, sempat disebut-sebut saat itu akan terjadi kudeta segala. Nah, posisi Sintong dalam hal ini menjadi penting karena dia adalah salah seorang yang terlibat dalam pertemuan itu.


Habibie menulis, sebenarnya ia sangat dekat dengan Prabowo (alinea keempat, hal 101). Bahkan, Prabowo mengidolakan dirinya. Ia pun mengaku merasa jengah dengan desakan Prabowo yang ingin eksklusif menemuinya. Sebab, sebelumnya Habibie sudah sepakat dengan Menhankam/Pangab Wiranto bahwa setiap ada anggota ABRI yang ingin menemuinya, harus seizin atau sepengetahuan Pangab. Dan, setelah Prabowo masuk ke ruangannya dan melihatnya tanpa membawa senjata, Habibie pun merasa puas. ''Hal ini berarti pemberian 'eksklusivitas' kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi,'' tulis Habibie di halaman 101.


Dialog antara keduanya pun segera terjadi dan dilakukan dalam bahasa Inggris, hal (101-102): “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya Presiden Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad.”

Habibie menjawab, “Anda tidak dipecat, tapi jabatan Anda diganti.”

Prabowo balik bertanya, ''Mengapa?”

Habibie kemudian menjelaskan bahwa ia menerima laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta, Kuningan, dan Istana Negara.

“Saya bermaksud mengamankan presiden,” kata Prabowo.

“Itu adalah tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab langsung pada Pangab dan bukan tugas Anda,” jawab Habibie.

“Presiden apa Anda? Anda naif?” jawab Prabowo dengan nada marah.

“'Masa bodoh, saya presiden dan harus membereskan keadaan bangsa dan negara yang sangat memprihatinkan,” jawab Habibie.

“Atas nama ayah saya, Prof Soemitro Djojohadikusumo dan ayah mertua saya Presiden Soeharto, saya minta Anda memberikan saya tiga bulan untuk tetap menguasai pasukan Kostrad,” kata Prabowo.

Habibie menjawab dengan nada tegas, “Tidak! Sampai matahari terbenam Anda sudah harus menyerahkan semua pasukan kepada Pangkostrad yang baru. Saya bersedia mengangkat Anda menjadi duta besar di mana saja!”

“Yang saya kehendaki adalah pasukan saya!” jawab Prabowo.

“Ini tidak mungkin, Prabowo,” tegas Habibie.

Ketika perdebatan masih berlangsung seru, Habibie kemudian menuturkan bawa Sintong masuk sembari menyatakan kepada Prabowo bahwa waktu pertemuan sudah habis.

“Jenderal, Bapak Presiden tidak punya waktu banyak dan harap segera meninggalkan ruangan.”


Menanggapi tulisan Habibie, “orang dekat” Prabowo, Fadli Zon, mengatakan pernyataan Habibie di buku Detik-Detik yang Menentukan itu banyak yang tidak akurat. Sebagian memang berisi fakta. Namun, sebagian lagi berisi asumsi dan khayalannya saja.

“Saya kira banyak ngawurnya. Kalau saya lihat sebagian informasi itu tepat, sebagian lainnya asumsi dan khayalan Habibie. Termasuk soal pengepungan di Istana Negara yang dilakukan pasukan Kostrad. Itu sama sekali tidak benar,” kata Fadli Zon.


Mengapa demikian? Fadli mengatakan kalau Prabowo memang bermaksud melakukan kudeta, maka baginya itu adalah sebuah hal yang mudah. “Kalau Prabowo mau melakukan kudeta, Habibie segera terguling. Dia tidak ada apa-apanya. Justru Prabowo mendukung reformasi konstitusional. Bahwa, kalau presiden berhenti, maka yang menggantikannya adalah wakil presiden. Jadi isu kudeta adalah fitnah besar,” tegas Fadli.


Adanya tulisan Habibie itu, lanjut Fadli, maka jelas dipastikan adanya seorang yang melakukan kebohongan. Hal ini bisa dilakukan oleh Habibie sendiri atau Wiranto.

“Yang jelas salah satu dari mereka ada yang melakukan kebohongan. Ini fitnah besar. Buku ini dibuat dengan tidak berpijak pada realitas,” tandas Fadli.

Amat di sayangkan Sintong panjaitan tidak menembak Prabowo saat mau kudeta saat itu.

Honour For Soldier

Makam Bitai

Home Sweet Home



Pusat Tabulasi Pemilu 2009 » Rekapitulasi DPR RI

Perolehan Suara Sementara DPR RI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM » Nanggroe Aceh Darussalam I » KOTA SABANG
Jumlah TPS Masuk: 41
Waktu cetak : 16-04-2009
Pusat Tabulasi Pemilu 2009 » Rekapitulasi DPR RI
Perolehan Suara Sementara DPR RI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM » Nanggroe Aceh Darussalam I » KOTA SABANG
Jumlah TPS Masuk: 41
Waktu cetak : 16-04-2009 19:02:24

Nomor Nama Partai Jumlah Suara %
1 Partai Hati Nurani Rakyat 37 0.465%
2 Partai Karya Peduli Bangsa 35 0.439%
3 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 162 2.034%
4 Partai Peduli Rakyat Nasional 151 1.896%
5 Partai Gerakan Indonesia Raya 116 1.456%
6 Partai Barisan Nasional 29 0.364%
7 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 99 1.243%
8 Partai Keadilan Sejahtera 425 5.336%
9 Partai Amanat Nasional 182 2.285%
10 Partai Perjuangan Indonesia Baru 8 0.1%
11 Partai Kedaulatan 8 0.1%
12 Partai Persatuan Daerah 28 0.352%
13 Partai Kebangkitan Bangsa 131 1.645%
14 Partai Pemuda Indonesia 3 0.038%
15 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 2 0.025%
16 Partai Demokrasi Pembaharuan 30 0.377%
17 Partai Karya Perjuangan 4 0.05%
18 Partai Matahari Bangsa 32 0.402%
19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 7 0.088%
20 Partai Demokrasi Kebangsaan 22 0.276%
21 Partai Republika Nusantara 17 0.213%
22 Partai Pelopor 8 0.1%
23 Partai Golongan Karya 1.158 14.539%
24 Partai Persatuan Pembangunan 334 4.193%
25 Partai Damai Sejahtera 22 0.276%
26 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 32 0.402%
27 Partai Bulan Bintang 182 2.285%
28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 100 1.255%
29 Partai Bintang Reformasi 97 1.218%
30 Partai Patriot 199 2.498%
31 Partai Demokrat 4.251 53.371%
32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia 7 0.088%
33 Partai Indonesia Sejahtera 7 0.088%
34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 13 0.163%
41 Partai Merdeka 5 0.063%
42 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah 9 0.113%
43 Partai Sarikat Indonesia 7 0.088%
44 Partai Buruh 6 0.075%
TOTAL 7.965 100%