5,1 Juta Balita Gizi Buruk, 54 Persen Meninggal
Gizi.net - Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, sejak tahun 1989 keadaan fisik rakyat Indonesia tidak mengalami perbaikan signifikan. Banyak hal yang dapat mencerminkan masalah ini, salah satunya adalah rendahnya asupan gizi pada masyarakat.
"Kualitas besaran gizi yang hanya berkisar 6,04 persen hingga 10,35 persen menunjukkan rendahnya asupan gizi masyarakat. Hal ini bertambah buruk, saat tahun 2002 lalu diketahui terdapat 1,4 juta balita dianggap tidak memiliki asupan gizi yang baik," ujar Guru Besar Ilmu Pangan dan Gizi Masyarakat IPB, Ali Khomsan, kepada SP di Jakarta, Rabu (23/1).
Ali mengingatkan, kekurangan gizi membuat 1,4 juta balita kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Maka bisa diprediksi kelak mereka tidak akan menunjukkan performa fisik dan intelektual yang maksimal. Sekarang ini, katanya, berdasarkan estimasi, ada 5,1 juta balita yang terancam mengalami gizi buruk.
Rendahnya kualitas asupan gizi, ungkap Ali, juga disinyalir sebagai penyebab kualitas fisik orang Indonesia lebih rendah dari bangsa lain. Hal ini ditunjukkan dari laporan Dana PBB untuk Anak-anak (Unicef) pada 2000 lalu, yang menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia yang berusia dua tahun ternyata memiliki berat badan lebih rendah 2 kg dan tinggi tubuh lebih rendah 5 cm, bila dibandingkan anak-anak negara lain.
Menurut dia, meskipun begitu, upaya pemerintah untuk menurunkan angka gizi buruk perlu mendapat apresiasi, karena berdasarkan angka jumlah kasus gizi buruk yang ditemukan dan ditangani oleh petugas kesehatan menurun, dari 76.176 kasus pada 2005 menjadi 19.567 pada 2006. Jumlah yang meninggal juga turun dari 293 anak pada 2005 menjadi 193 pada 2006.
Sebabkan Kematian
Sementara itu, dokter anak dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Yosef Hartadi mengungkapkan, 54 persen kematian bayi dan balita terjadi akibat gizi kurang. Jadi, jika estimasi para ahli gizi terdapat 5,1 juta balita mengalami gizi buruk, maka yang terancam meninggal bisa mencapai 2,6 juta balita.
Sisanya, menurut Yosef, terjadi akibat serangan berbagai penyakit termasuk diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan campak. Meskipun ada dua persoalan besar, gizi lebih dan gizi kurang, akan lebih bagus pemerintah tetap fokus pada masalah gizi kurang. Gizi lebih karena ketidaktahuan soal pola makan. "Itu menunjukkan kekurangan gizi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian bayi dan balita. Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni infeksi penyakit dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga atau pola asuh yang salah," ujarnya.
Kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan minimnya kesempatan kerja akibat kondisi politik dan ekonomi yang buruk, kata dia, juga merupakan faktor pemicu timbulnya masalah gizi dalam masyarakat.
Penanggulangan masalah gizi ditargetkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita menjadi 20 persen dan gizi buruk menjadi lima persen pada 2006. Ini dilakukan melalui berbagai upaya, seperti peningkatan cakupan deteksi gizi buruk melalui penimbangan balita di posyandu dan puskesmas serta peningkatan suplemen gizi pada anak.
Selain itu, penanggulangan masalah gizi juga dilakukan dengan meningkatkan jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di rumah tangga, puskesmas dan rumah sakit, serta pembentukan keluarga sadar gizi. Upaya-upaya itu diterjemahkan ke dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk yang telah dilakukan pemerintah, antara lain promosi pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, pemberian makanan tambahan, pemberian suplemen vitamin A dan zat besi, pendampingan keluarga, program pola asuh gizi, dan program keluarga sadar gizi.
Gizi.net - Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, sejak tahun 1989 keadaan fisik rakyat Indonesia tidak mengalami perbaikan signifikan. Banyak hal yang dapat mencerminkan masalah ini, salah satunya adalah rendahnya asupan gizi pada masyarakat.
"Kualitas besaran gizi yang hanya berkisar 6,04 persen hingga 10,35 persen menunjukkan rendahnya asupan gizi masyarakat. Hal ini bertambah buruk, saat tahun 2002 lalu diketahui terdapat 1,4 juta balita dianggap tidak memiliki asupan gizi yang baik," ujar Guru Besar Ilmu Pangan dan Gizi Masyarakat IPB, Ali Khomsan, kepada SP di Jakarta, Rabu (23/1).
Ali mengingatkan, kekurangan gizi membuat 1,4 juta balita kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Maka bisa diprediksi kelak mereka tidak akan menunjukkan performa fisik dan intelektual yang maksimal. Sekarang ini, katanya, berdasarkan estimasi, ada 5,1 juta balita yang terancam mengalami gizi buruk.
Rendahnya kualitas asupan gizi, ungkap Ali, juga disinyalir sebagai penyebab kualitas fisik orang Indonesia lebih rendah dari bangsa lain. Hal ini ditunjukkan dari laporan Dana PBB untuk Anak-anak (Unicef) pada 2000 lalu, yang menyebutkan bahwa anak-anak Indonesia yang berusia dua tahun ternyata memiliki berat badan lebih rendah 2 kg dan tinggi tubuh lebih rendah 5 cm, bila dibandingkan anak-anak negara lain.
Menurut dia, meskipun begitu, upaya pemerintah untuk menurunkan angka gizi buruk perlu mendapat apresiasi, karena berdasarkan angka jumlah kasus gizi buruk yang ditemukan dan ditangani oleh petugas kesehatan menurun, dari 76.176 kasus pada 2005 menjadi 19.567 pada 2006. Jumlah yang meninggal juga turun dari 293 anak pada 2005 menjadi 193 pada 2006.
Sebabkan Kematian
Sementara itu, dokter anak dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Yosef Hartadi mengungkapkan, 54 persen kematian bayi dan balita terjadi akibat gizi kurang. Jadi, jika estimasi para ahli gizi terdapat 5,1 juta balita mengalami gizi buruk, maka yang terancam meninggal bisa mencapai 2,6 juta balita.
Sisanya, menurut Yosef, terjadi akibat serangan berbagai penyakit termasuk diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), dan campak. Meskipun ada dua persoalan besar, gizi lebih dan gizi kurang, akan lebih bagus pemerintah tetap fokus pada masalah gizi kurang. Gizi lebih karena ketidaktahuan soal pola makan. "Itu menunjukkan kekurangan gizi merupakan faktor utama yang menyebabkan kematian bayi dan balita. Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni infeksi penyakit dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga atau pola asuh yang salah," ujarnya.
Kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan minimnya kesempatan kerja akibat kondisi politik dan ekonomi yang buruk, kata dia, juga merupakan faktor pemicu timbulnya masalah gizi dalam masyarakat.
Penanggulangan masalah gizi ditargetkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita menjadi 20 persen dan gizi buruk menjadi lima persen pada 2006. Ini dilakukan melalui berbagai upaya, seperti peningkatan cakupan deteksi gizi buruk melalui penimbangan balita di posyandu dan puskesmas serta peningkatan suplemen gizi pada anak.
Selain itu, penanggulangan masalah gizi juga dilakukan dengan meningkatkan jangkauan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di rumah tangga, puskesmas dan rumah sakit, serta pembentukan keluarga sadar gizi. Upaya-upaya itu diterjemahkan ke dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Program pencegahan dan penanggulangan gizi buruk yang telah dilakukan pemerintah, antara lain promosi pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, pemberian makanan tambahan, pemberian suplemen vitamin A dan zat besi, pendampingan keluarga, program pola asuh gizi, dan program keluarga sadar gizi.
Informasi tentang.. |
Gizi.net - Masalah malnutrisi bagaikan 'bom waktu' yang siap meledak kapan saja. Para pakar kesehatan dari European Nutrition for Health Alliance (ENHA) memperhatikan masalah malnutrisi yang kian banyak menelan korban jiwa. Menurut Profesor Jean-Pierre Baeyens, wakil ketua ENHA, ada dua penyebab utama munculnya masalah malnutrisi yaitu akibat sakit dan usia yang makin tua. Menurutnya, malnutrisi ini sudah menjadi endemik di beberapa komunitas seperti rumah sakit dan rumah tinggal. Para saintis dari ENHA bahkan bisa memastikan bahwa separuh dari pasien usia tua di rumah sakit dan juga yang tinggal di rumah memiliki masalah malnutrisi. Selain itu, mereka yang pernah menderita sakit dalam waktu lama juga memiliki risiko yang sama seperti orang-orang tua dalam hal malnutrisi. ''Malnutrisi kini menjadi endemik yang kian parah. Banyak orang tak memahami masalah ini. Jika kita tidak melakukan sesuatu sekarang maka kasus ini bisa terus meningkat. Kita seperti berhadapan dengan bom waktu,'' ungkap Jean-Pierre Baeyens kepada BBC. Baeyens menjelaskan bahwa malnutrisi tidaklah sama dengan berat tubuh yang kurang meskipun seringkali terjadi orang yang mengalami masalah kurang berat badan juga mengalami malnutrisi. Menurutnya, sangat mungkin terjadi orang yang kelebihan berat badan juga mengalami malnutrisi. Malnutrisi yang dimaksudkan adalah jika tubuh tidak mendapatkan nutrisi yang penting dan cukup bagi tubuh kita. Malnutrisi ini sangat berkaitan dengan ongkos kesehatan yang tinggi. Profesor Marinos Elia, dari Klinik Nutrisi di Southampton University, memperkirakan bahwa malnutrisi ini telah menghabiskan biaya kesehatan yang sangat tinggi, yaitu mencapai tujuh miliar dolar AS per tahun. Menurut Elia, dalam setahun terakhir telah terjadi pembiayaan nutrisi yang sangat besar untuk mengatasi masalah kesehatan di dunia. ''orang-orang yang mengalami nutrisi harus tinggal lebih lama di rumah sakit,'' paparnya memberi alasan. Menurutnya, ada cara yang sangat sederhana untuk mengatasi masalah ini untuk menghindari membengkaknya biaya kesehatan. Dia mencontohkan, rumah sakit di Skotlandia telah mempelopori untuk mencari pasien-pasien yang mengalami malnutrisi. Mereka kemudian menolong pasien ini dengan memberikan makanan yang tepat, termasuk suplemen. Professor Peter Kopelman dari Royal College of Physicians melihat masalah malnutrisi ini dari sudut yang berbeda. Menurutnya, malnutrisi juga banyak terjadi di rumah sakit di Inggris. Padahal, lanjutnya, dalam tahun-tahun terakhir telah terjadi peningkatan kualitas makanan di rumah sakit. Namun, masalah malnutrisi tetap saja terjadi. ''Maka yang perlu dilakukan justru pelatihan bagi tenaga kesehatan profesional mengenai nutrisi yang penting bagi tubuh,'' katanya. Senin 05-03-2007 dr. M.Ikhsan Mokoagow: Menilik Malnutrisi dari Sisi yang Berbeda Malnutrisi adalah istilah umum untuk suatu kondisi medis yang disebabkan oleh pemberian atau cara makan yang tidak tepat atau tidak mencukupi. Istilah ini seringkali lebih dikaitkan dengan keadaan undernutrition (gizi kurang) yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang kurang, penyerapan yang buruk, atau kehilangan zat gizi secara berlebihan. Namun demikian, sebenarnya istilah tersebut juga dapat mencakup keadaan overnutrition (gizi berlebih). Seseorang akan mengalami malnutrisi bila jumlah, jenis, atau kualitas yang memadai dari zat gizi yang mencakup diet yang sehat tidak dikonsumsi untuk jangka waktu tertentu yang cukup lama. Keadaan yang berlangsung lebih lama lagi dapat menyebabkan terjadinya kelaparan.Manutrisi akibat asupan zat gizi yang kurang untuk menjaga fungsi tubuh yang sehat seringkali dikaitkan dengan kemiskinan, terutama pada negara-negara berkembang. Sevaliknya, malnutrisi akibat pola makan yang berlebih atau asupan gizi yang tidak seimbang lebih sering diamati pada negara-negara maju, misalnya dikaitkan dengan angka obesitas yang meningkat. Obesitas adalah suatu keadaan di mana cadangan energi yang disimpan pada jaringan lemak sangat meningkat hingga ke mencapai tingkatan tertentu, yang terkait erat dengan gangguan kondisi kesehatan tertentu atau meningkatnya angka kematian. Ketika berbicara mengenai gizi kurang (undernutrition), perhatian terbesar akan ditujukan pada anak, terutama balita. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut, asupan kurang yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, akan memberikan dampak terhadap proses tumbuh kembang anak dengan segala akibatnya di kemudian hari. Tidak hanya pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga perkembangan mentalnya. Satu hal yang akan berdampak pada produktivitas suatu bangsa. Masalah malnutrisi masih ditemukan pada banyak tempat di Indonesia, dan ironisnya Indonesia mengalami kedua ekstrim permasalahan malnutrisi. Di satu sisi, daerah yang mengalami rawan pangan dan kelompok dengan kemampuan ekonomi yang kurang memadai amat rentan terhadap terjadinya malnutrisi dalam bentuk gizi kurang. Organisasi pangan dunia (FAO) mencatat pada kurun waktu 2001-2003 di Indonesia terdapat sekitar 13,8 juta penduduk yang kekurangan gizi. Sementara berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 persen dari jumlah anak Indonesia. Di sisi lain, di beberapa tempat seperti daerah perkotaan dan pada kelompok ekonomi berkecukupan, obesitas menjadi bagian dari masalah kesehatan. Sekalipun belum ada data resmi yang diungkapkan pemerintah, beragam penelitian menunjukkan angka obesitas yang cukup mencengangkan. Satu di antaranya menyebutkan hingga 4,7% atau sekitar 9,8 juta penduduk Indonesia mengalami obesitas, belum termasuk 76,7 juta penduduk (17,5%) yang mengalami kelebihan berat badan atau berpeluang mengalami obesitas. Lebih menyedihkan lagi, angka obesitas pada anak juga cukup tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh FK UNDIP pada kelompok usia 6-7 tahun di Semarang, didapatkan angka rata-rata obesitas sekitar 12,6%. Sekalipun keadaan undernutrisi sering disebabkan oleh keadaan kekurangan pangan -- baik karena masalah produksi atau masalah distribusi -- patut dijadikan catatan bahwa tidak jarang undernutrisi, khususnya pada anak, juga terjadi karena kesalahan pola pemberian makanan ataupun jenis makanan yang diberikan. Akibatnya anak tidak mendapatkan asupan yang memadai bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan mentalnya. Hal yang serupa juga terjadi pada masalah overnutrisi di mana, asupan yang didapatkan tidak semata-mata dalam jumlah yang banyak saja tetapi juga memiliki kandungan gizi yang nilai kalorinya terlalu tinggi. Sepintas, dapat diamati bahwa kedua permasalahan ini mungkin berpangkal pada pengetahuan yang kurang memadai tentang gizi di masyarakat. Oleh karenanya, edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi yang tepat tentang pemenuhan gizi akan menjadi langkah yang baik dalam mencegah terjadinya undernutrisi maupun overnutrisi. Berikut merupakan hal praktis dan sederhana yang dapat menjadi langkah awal dalam upaya mencegah terjadinya malnutrisi: 1.Pemberian ASI eksklusif sejak saat lahir hingga usia enam bulan merupakan langkah awal yang paling tepat dalam menjamin asupan yang baik. Di samping kecukupan kandungan gizinya bagi tumbuh kembang bayi pada usia tersebut, pemberian ASI menghindari terjadinya pemberian makanan yang belum siap diterima dan dapat berpeluang menimbulkan masalah pencernaan. Selain itu, pemberian makanan selain ASI pada usia tersebut akan mengurangi porsi pemberian ASI yang kemudian mengganggu produksi ASI oleh ibu. 2. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tepat mulai usia 6 - 24 bulan. Perlu ditekankan bahwa MPASI adalah pendamping bukan pengganti ASI. 3. Periksakan selalu pertumbuhan dan perkembangan anak secara rutin, baik ke tenaga kesehatan maupun melalui Posyandu. Dengan mengamati secara seksama tumbuh kembang anak, orang tua akan mampu mendeteksi secara dini adanya masalah gizi pada anak. Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah salah satu alat sederhana namun sangat bermanfaat dalam menepis kemungkinan masalah tersebut, serta memberikan informasi penting lain yang terkait seperti pola makan dan imunisasi. Kesalahan persepsi yang muncul di masyarakat adalah melihat pertumbuhan anak hanya secara kasat mata saja. Anak dianggap terlalu kurus, gemuk, atau normal berdasarkan pengamatan sepintas saja. Selain kurang tepat, hal ini bisa mengakibatkan tidak terdeteksinya masalah pertumbuhan fisik yang mungkin hampir tidak kentara. Pengukuran anthropometrik, seperti ukuran berat badan, panjang/tinggi badan, lingkar kepala dan lingkar lengan atas, akan membantu menentukan status pertumbuhan seorang anak. 4. Memberikan makanan yang seimbang dan bergizi tidak selalu identik dengan memberikan bahan makanan yang mahal dan tidak terjangkau. Banyak makanan sehat yang bisa dibuat dengan mudah dan tanpa biaya besar. Di samping itu, penggunaan bahan lokal yang nilai gizinya baik perlu dikedepankan, karena keterjangkauan dan ketersediaannya amat membantu dalam upaya pemenuhan gizi yang baik. 5. Perlu disadari bahwa aktivitas makan ternyata tidak sesederhana yang seseorang bayangkan, tetapi ia juga mencakup dan terkait dengan beragam aspek. Nilai gizi suatu makanan, pola pemberiannya, pemilihan bahan makanan, cara pengolahan, kebersihan dan keamanan, bagian dari pembelajaran pada anak, fungsi sosial, hingga nilai estetika dari suatu makanan menyadarkan semua orang untuk selalu menambah pengetahuan, wawasan, dan pemahamannya. Sekalipun demikian, hal ini tidak berarti aktivitas makan harus dilihat sebagai suatu hal yang membingungkan atau bahkan menyulitkan Pemahaman bahwa malnutrisi sebenarnya seringkali dapat dicegah bila seseorang memiliki bekal pengetahuan yang cukup, akan memicu keingintahuan semua orang untuk memperluas pengetahuan serta wawasannya. Adalah hal yang ironis bila malnutrisi yang terjadi di sekitar kita hanya karena pengetahuan yang kurang pada di era “banjir” informasi seperti sekarang ini. |