Jumat, 16 Oktober 2009

gambarkita:rondo gadogado

  1. Pulau Rondo - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

    Pulau Rondo adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudera Hindia dan berbatasan dengan negara India. Pulau Rondo ini merupakan pulau paling utara ...
    id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Rondo - Tembolok - Mirip
  2. Garis Depan Nusantara

    19 Mei 2008 ... Titik KM 0 Pulau Rondo = 6 04 418 LU 95 06 943 BT. Tempat Pendaratan Pulau Rondo = 6 04 547 LU 95 07 126 BT. Dipasang pemecah pantai di sisi ...
    www.garisdepannusantara.org/content/view/58/46/ - Tembolok - Mirip
  3. ANTARA News: Telkom Bangun Fasilitas Komunikasi di Pulau Rondo

    PT Telkom Tbk akan membangun fasilitas telekomunikasi berupa akses point di Pulau Rondo, Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merupakan ...
    www.antara.co.id/.../telkom-bangun-fasilitas-komunikasi-di-pulau-rondo/ - Tembolok - Mirip
  4. Hasil penelusuran gambar untuk pulau rondo

    - Laporkan gambar
    http://www.ppnsi.org/index.php?option=com_content&task=view&id=48&Itemid=1http://www.lib.utexas.edu/maps/ams/indonesia/http://rudsdiary.blogspot.com/2007_05_01_archive.htmlhttp://masbagoes.blogspot.com/2008/12/12-pulau-terluar-rentan-diambil-negara.html
  5. Hasil penelusuran berita untuk pulau rondo


    100 Marinir Jaga Pulau Rondo dan Berhala‎ - 6 hari yang lalu
    Komandan Lantamal I Belawan Laksmana Pertama TNI Syarif Husain di Medan, Senin, mengatakan, dua pulau terluar itu adalah Pulau Rondo yang berada di ujung ...
    ANTARA - Ditemukan 3 artikel yang sesuai »
  6. KOMPAS.com - Bau.belerang.di.pulau.rondo

    4 Jul 2008 ... PULAU RONDO, JUMAT - Tim Ekspedisi Garis Depan Nusantara yang menumpang KM Deklarasi Djuanda melanjutkan ekspedisinya di Pulau Rondo. ...
    www.kompas.com/read/xml/.../bau.belerang.di.pulau.rondo - Tembolok - Mirip
  7. ANTARA News: 100 Marinir Jaga Pulau Rondo dan Berhala

    Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) I Belawan mengerahkan 100 personil marinir untuk menjaga dua pulau terluar di daerah itu.
    www.antaranews.com/.../100-marinir-jaga-pulau-rondo-dan-berhala - Tembolok - Mirip
  8. Telkom Sumatera bangun Fastel di Pulau Rondo | Perum LKBN ANTARA ...

    25 Nov 2008 ... Telkom Sumatera Pulau Rondo Fasilitas Telekomunikasi.
    www.antarasumut.com/.../telkom-sumatera-bangun-fastel-di-pulau-rondo/ - Tembolok - Mirip
  9. Warta,Testimonial dan Suara kita berlabel (tag) “pulau rondo ...

    25 Mei 2009 ... Suara kita berlabel (tag): “pulau rondo”. MAU KIRIM WARTA / FOTO ? Silakan klik ikon kirim di samping, bila Anda hendak kirim warta atau ...
    www.wikimu.com/News/News-Tag.aspx?t=pulau+rondo - Tembolok - Mirip
  10. Michael Risdianto Blog // Recent Blog Entries // pulau rondo ...

    Posted on Saturday June 20th, 2009 at 23:29 in aceh, bayu noer rachman, billfish , jigging, mancing mania trans 7, pulau rondo, pulau weh ...
    www.blogcatalog.com/blogs/michael.../pulau%20rondo/ - Tembolok - Mirip
  11. Eksplorasi Pulau Weh dan Pulau Rondo - The Largest Aceh Community

    2 pesan - 2 pembuat - Pos terakhir: 3 Jun
    Eksplorasi Pulau Weh dan Pulau Rondo Mancing. ... Reload this Page Eksplorasi Pulau Weh dan Pulau Rondo. User Name, Remember Me? Password ...
    www.acehforum.or.id/eksplorasi-pulau-weh-t22877.html - Tembolok - Mirip
  12. Trip Pulau Rondo-Weh, Aceh - Page 3 - FishyForum

    7 pesan - 2 pembuat - Pos terakhir: 11 Sep
    STANDARD REPORT MANCING FISHY FORUM: Tanggal : 15 dan 16 Agustus 2009 Lokasi Mancing : Perairan Pulau Weh dan Pulau Rondo, Aceh Nama Anglers ...
    www.fishyforum.com/.../31612-trip-pulau-rondo-weh-aceh-3.html - Tembolok - Mirip

http://i601.photobucket.com/albums/tt99/anggarapraditya/PulauRondo.jpg

Pulau Rondo (Salah Satu Pulau Pulau Kecil Terluar di NAD) PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Tonny F. Kurniawan
Sunday, 31 May 2009
rondoPulau Rondo terletak di ujung utara Sumatera, dan merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan negara India. Posisi Pulau Rondo sangat strategis, yaitu di ujung barat Indonesia dan merupakan jalur pelayaran internasional. Secara geografis, pulau Rondo berada pada 06° 04’ 30” - 95° 06’ 45” BT. Pulau ini merupakan salah satu pulau kecil yang ada di wilayah Kabupaten Sabang, selain Pulau Weh, Klah, Rubiah dan Seulako.

PULAU RONDO (Salah Satu Pulau Pulau Kecil Terluar di NAD)

rondo

Letak Geografis dan Kondisi Wilayah Pulau Rondo
a. Letak geografis
Pulau Rondo terletak di ujung utara Sumatera, dan merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan negara India. Posisi Pulau Rondo sangat strategis, yaitu di ujung barat Indonesia dan merupakan jalur pelayaran internasional. Secara geografis, pulau Rondo berada pada 06° 04’ 30” - 95° 06’ 45” BT. Pulau ini merupakan salah satu pulau kecil yang ada di wilayah Kabupaten Sabang, selain Pulau Weh, Klah, Rubiah dan Seulako.
Jarak Pulau Rondo dengan Kota Sabang 15,6 km, dengan Kelurahan Iboih 9,3 km, dan dengan Kelurahan Ujung Ba’u 4,8 km. Luas Pulau Rondo 0,4 km2, dapat dicapai dengan kapal motor dari Kelurahan Ujung Ba’u selama 40 menit, dari Kelurahan Iboih 1,5 jam dan dari Kota Sabang 1,75 jam.
Pulau Rondo termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Ujung Ba’u, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi NAD. Pulau ini tidak dihuni secara tetap, tetapi secara bergantian oleh Marinir dan petugas jaga mercusuar. Di pulau ini terdapat titik dasar (TD) no. 177 dan titik referensi (TR) no. 177 dan sebuah mercusuar.

b. Topografi
Pulau karang yang berbentuk bulat ini memiliki topografi berbukit (bentuk Kount), dengan ketinggian yang rendah. Bentuk lahan pulau ini berupa perbukitan denudasional terkikis ringan dan terumbu paparan pelataran yang ada di perairan sekelilingnya. Kondisi pantai terjal dan berbatu sehingga agak sulit didarati dari arah laut. Letaknya yang berada di laut lepas dengan arus dan gelombang yang relatif lebih besar menyebabkan pulau ini rawan abrasi. Elevasi ketinggian Pulau Rondo antara 0 – 35 m di atas permukaan laut (dpl).

c. Litologi
Secara litologi, Pulau Rondo pada umumnya sama dengan Pulau Weh, yaitu tersusun dari tufa andesit dan batuan sedimen hasil letusan gunung berapi. Pada daerah pantai dan sebagian besar dataran pesisir serta lahan terbuka umumnya mempunyai struktur yang bercampur dengan pasir serta banyak batu-batu besar.

d. Klimatologi
Secara umum iklim Pulau Rondo termasuk kedalam iklim tropis. Data iklim yang bersumber dari stasiun Meteorologi dan Geofisika Sabang, menunjukkan bahwa curah hujan mencapai 2.130,8 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 149 hari/tahun. Kondisi temperatur harian di sekitar Pulau Rondo berkisar 21,5°C-30,5°C, Sedangkan kecepatan angin mencapai 10,8 knot, dengan arah angin terbanyak menuju arah barat.

e. Kondisi Perairan
Pulau Rondo merupakan pulau terluar yang berada di bagian barat laut Pulau Weh. Kondisi perairan pulau ini jernih dengan ombak yang relatih lebih tinggi dari pada perairan pulau lainnya. Arus di daerah perairan pulau ini berasal dari barat (Samudera Hindia) bergerak menuju timur dan sebagian dibelokan ke utara, dengan kecepatan mencapai 0,65 m/detik.

Parameter fisik perairan Pulau Rondo yaitu sebagai berikut : warna <>

Potensi Sumberdaya Alam Pulau Rondo
a. Sumberdaya Perikanan
Perairan pulau ini memiliki kekayaan hayati yang melimpah, antara lain terumbu karang dan berbagai jenis ikan, baik ikan hias maupun ikan ekonomis seperti tuna (Thunnus Sp.), tenggiri (Scomberomorus commersoni), lemuru (Sardinella longiceps), kakap (Lutjanus Sp.), kembung (Rastrelliger Sp.), tembang, dan kerapu. Di perairan ini terkadang dijumpai ikan hiu, yang menjadikan Pulau Rondo sebagai daerah penangkapan ikan (Fishing Ground). Kondisi ini didukung adanya proses Up welling akibat pertemuan arus dari utara dan selatan, yang menyebabkan banyak terakumulasinya berbagai jenis ikan.

b. Vegetasi
Pulau Rondo merupakan pulau yang bervegetasi cukup lebat. Sebagian besar lahan berupa hutan tropika basah (dengan vegetasi pohon, semak dan herba). Berbagai jenis vegetasi diantaranya pohon kelapa (terutama di pinggir pantai), cengkeh, buah-buahan, kayu ketapang, gelumpang, kayu laut, medang dan lagan.

c. Terumbu Karang dan Biota Penghuninya
Pulau Rondo memiliki berbagai jenis tutupan terumbu karang. Jenis karang yang dominan berupa karang keras (Hard Coral) 32,3%, jenis lainnya yaitu karang mati (Dead Coral) 19,6%, dan karang lunak (Soft Coral) 2,6%.

Kelimpahan biota yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang dasar perairan Pulau Rondo didominasi oleh kelompok ikan yang berukuran > 1 inch, Jenis lainnya yaitu Bulu Babi/sea urchins (Diadema sp.), ikan berukuran <>

Faktor penyebab kerusakan karang yang dominan terjadi disebabkan antara lain jangkar kapal nelayan (26,7%), perubahan suhu (kelantang ) 16,7%, pembentukan massa putih (white band) 13,3%, kerusakan lain 10%, ledakan bom 6,7%, dan penyakit karang 3,3%. Berdasarkan kegiatan observasi langsung di lapangan dan informasi dari masyarakat bahwa ekosistem mangrove dan padang lamun belum pernah ditemukan di sekitar pulau Rondo.

Kondisi Sosial Budaya, Ekonomi dan Infrastruktur
a. Sosial Budaya
Di sekitar Pulau Rondo yang tak berpenghuni ini kegiatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Ujung Ba’u dan masyarakat daerah lain adalah mencari ikan. Daerah tangkapannya tidak jauh dari pulau tersebut karena mesin kapal nelayan belum mampu melewati gelombang yang besar hingga batas Laut Andaman.

b. Posisi dalam Pelayaran Regional
Pulau Rondo merupakan salah satu pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan India dan Thailand. Di pulau ini terdapat mercusuar yang dijaga secara bergantian oleh petugas mercusuar dan terdapat titik referensi (TR) dan titik dasar (TD) yang terdaftar dalam PP No. 38 Th 2002.

Posisi Rondo ini sangat strategis karena berada pada jalur pelayaran antara 2 (dua) benua yaitu Asia dan Eropa, sehingga memberikan arti penting bagi terbukanya berbagai peluang maupun ancaman dari luar. Salah satu ancaman yang serius adalah illegal fishing oleh nelayan asing. Hal ini disebabkan pula oleh masih tradisionalnya alat tangkap yang digunakan oleh nelayan setempat.

Dengan ditetapkannya Sabang dan Aceh sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di ujung barat Indonesia, mengakibatkan semakin banyaknya volume pelayaran di perairan ini. Sehingga keberadaan pulau memerlukan pengawasan yang lebih intensif, agar keberadaannya tidak diklaim secara sepihak oleh negara lain.

Perkembangan perundingan bilateral antara RI-India yang telah dilakukan:
1. Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen RI - India di Jakarta tanggal 8 Agustus 1974 (diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 51 Tahun 1974 tanggal 25 September 1974), terdiri dari 4 (empat) titik koordinat (titik 1 – 4).
2. Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen RI - India (perpanjangan Garis Batas Landas Kontinen tahun 1974) dilakukan di New Delhi tanggal 14 Januari 1977, terdiri dari 9 (sembilan ) titik koordinat :
a. Laut Andaman 4 (empat) titik koordinat
b. Samudera Hindia 5 (lima) titik koordinat.
(diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1977,
tanggal 04 April 1977).


c. Transfortasi dan Aksesibilitas

Pulau Rondo dapat diakses dengan menggunakan kapal motor dari Kelurahan Ujung Ba’u selama 40 menit, dari Kelurahan Iboih 1,5 jam dan dari Kota Sabang 1,75 jam. Untuk mencapai pulau ini sangat mudah melalui beberapa jalur dengan menggunakan berbagai macam sarana transportasi.


makam.jpg

Photo by: Onik

Pasca bencana alam banyak kondisi makam bersejarah tidak mendapat perhatian. Seperti makan Panglima Sigli yang berada didaerah Uleelheu Banda Aceh yang sudah hancur saat musibah tsunami perlu mendapat perhatian sebagai salah satu peninggalan bersejarah . Foto direkam Selasa (27/11) 2007


Komplek makam kuno peninggalan Turki terletak berbarengan dengan komplek Tengku Di Bitai, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Luas areal 500 m2. Komplek makam berada ditengah-tengah perkampungan dan disekitar makam itu terdapat mesjid kuno yang bangunannya mirip seperti bangunan Turki dengan status tanah wakaf.

Bitai adalah nama sebuah perkampungan yang ditempati para ulama Islam dari Pasai Pidie dan Ulama itu berasal dari Negara Baitul Muhadis dan Turki. Semula para ulama bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di perguruan tinggi. Perkembangan Islam di Bitai sangat termasyur (maju) karena banyak orang luar Aceh yang belajar untuk memperdalam agama Islam.

Bagi yang belajar di Aceh mengembangkan lagi di negaran ya masing-masing. Maka semakin majulah perkembangan Islam masa itu. Raja-raja yang menganut agama Budha akhirnya masuk Islam karena tidak diperbolehkan kepala Negara Budha pada saat itu. Disamping mengembangkan agama Islam, para kepala Negara itu juga mengadakan kerja sama pada bidang ekonomi. (dagang) dan menjalin hubungan yang baik pada masalah ketahanan Negara.

Turki Membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 M, hanya memerintah 28 (Dua Puluh Delapan) tahun tiga bulan. Masa pemerintahannya mempunyai agenda meningkatkan pendidikan dan hubungan kerja sama dengan Negara-negara lain seperti Turki, tanah melayu, Pakistan dan Arab Saudi.

Raja dan keluarganya Turki dan masyarakat yang berada di negeri Kedah umumnya beragama Islam dan akhirnya orang Turki menikah dengan orang Aceh yang tinggal di Bitai. Pada saat wafatnya Raja Salahuddin, orang Turki yang merupakan sahabatnya, memberikan wasiat bahwa pada saat meninggal dunia mereka minta dimakamkan saling berdekatan yaitu di Komplek Situs Makan Tuanku Di Bitai.

Jumlah makam secara keseluruhan lebih kurang 20 (dua puluh) makam diklarifikasikan, makam dari batu cadas berjumlah 7 (tujuh) makam. Makam dari batu sungai berjumlah 18 (delapan belas) makam.

Secara keseluruhan batu nisanya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Tukri dan Saudi Arabia. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung diatasnya terdapat lingkaran sisi delapan.

Menelusuri Silsilah
KETURUNAN TURKIYE DI BITAI
SAMPAI DENGAN TERAKHIR HASBI & LUQMAN

1. Syakir Jundi Istambul Turkiya
2. Muhammad Jamil Ghazi bin Syakir Jundi Istambul รข€“ Turkiya
3. Abdul Aziz Ghazi bin Muhammad Jamil
4. Saidam Ghazi bin Abdul Aziz Ghazi
5. Sirikhu Ghazi bin Saidam Ghazi
6. Muhammad Shaleh Ghazi bin Sirikhu Ghazi
7. Ilyas Ghazi bin Muhammad Shaleh Ghazi
8. Ishak Ghazi bin Ilyas Ghazi
9. Ahmad Ghazi bin Ishak Ghazi
10. Rustam Ghazi bin Ahmad Ghazi
11. Basyah Ghazi bin Rustam Ghazi
12. Rauf Ghazi bin Basyah Ghazi
13. Mustafa Ghazi bin Rauf Ghazi
14. Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi ( yang pertama datang ke Aceh / Bitai dan kemudian dikenal dengan nama Tengku Syiek Tuan Di Bitai)
15. Jalal Basyar Ghazi bin Muthablib Ghazi
16. Ismail Ghazi bin Jalal Basyar Ghazi
17. Harun Ghazi bin Ismail Ghazi
18. Abdul Jalal bin Harun Ghazi
19. Abdullah Tamim Ghazi bin Abdul Jalal Ghazi
20. Faqih Sri Raja Faqih bin Abdullah Tamim Ghazi
21. Syeik Abdurrahman bin Faqih Sri Raja Faqih
22. Syeik Ismail bin Syeik Abdurrahman
23. Tengku H. Abdul Aziz bin Syeik Ismail
24. Tengku H. Muhammad Junaid bin Tengku H. Abdul Aziz
25. Tengku H. Razali bin Tengku H. Muhammad Juanid. (wafat pada tahun 1987 M)
26. Hasbi bin Tgk. Razali dan Luqman bin Tgk. H. Razali





Minggu, 05 September 2004
Menoleh Wisata Pulau Weh
Adalkan Pantai Perawan



Turis asing kembali mengunjungi Pulau Weh sejak pertengahan Agustus lalu. Pulau itu tergolong wilayah paling aman di Provinsi NAD. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Matahari di cakrawala Pantai Gapang, Pulau Weh, Naggroe Aceh Darussalam (NAD), masih terlihat benderang. Panorama pantai terlihat menawan. Air laut yang sangat biru, berpadu dengan tumbuhan bebukitan yang menghijau. Lambaian nyiur di pinggir pantai menyempurnakan pemandangan Pantai Gapang. Kapal kecil yang mengangkut sekelompok turis asing baru saja merapat ke bibir pantai. Mereka baru saja menikmati pemandangan terumbu karang di dasar laut Pantai Gapang.
Dengan badan yang masih kuyup, mereka menyerbu warung kopi yang berjajar di tepi pantai. Satu sama lain terlihat berbicara riang tentang pemandangan menawan yang baru dinikmatinya di dasar laut. Pada pertengahan Agustus 2004 memang sebanyak 25 warga asing mendarat di Pulau Weh untuk berlibur. Mereka adalah kelompok pertama turis asing yang datang ke pulau tersebut, setelah beberapa bulan objek wisata Pulau Weh hanya dinikmati wisatawan domestik. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang --pemerintahan yang menaungi Pulau Weh-- sejak Juni 2003 turis asing tak mau lagi datang ke pulau tersebut. Sebelum darurat militer diberlakukan, Pulau Weh termasuk objek wisata yang banyah dikunjungi turis asing. Hampir setiap bulan, selalu saja ada kapal pesiar yang bersandar dengan membawa ratusan turis asing. Jika dihitung rata-rata, setiap tahun wisatawan asing yang berkunjung ke Pulau Weh sejak tahun 1996 mencapai 2.000 orang. Pantai Gapang termasuk salah satu lokasi yang mereka prioritaskan. Pantai ini berhias pasir putih dan jajaran pohon ketapang yang memberi keteduhan bagi para pengunjung.
Di ujung barat pantai terdapat teluk yang ditumbuhi hutan bakau. Hutan ini menjadi tempat yang sangat baik untuk hidup dan perkembangbiakan berbagai jenis ikan. Kekayaan ekosistem air inilah yang juga menjadi salah satu daya tarik wisatawan. Untuk ditempuh dengan jalur darat dari pusat Kota Sabang, jarak pantai ini juga tidak terlalu jauh, yakni hanya sekitar 19 kilometer. Hanya, kendaraan umum yang melintasi pantai ini masih terbatas. Untuk kenyamanan, sebaiknya wisatawan menggunakan kendaraan sewaan. Fasilitas akomodasi yang tersedia di Gapang tergolong lengkap. Beberapa warga tinggal dan mendirikan rumah di pinggir pantai tersebut. Tokoh tua di perkampungan pinggir pantai itu bernama Gesi Yahya. Dia sudah berusia 74 tahun. Gesi mengaku pertama kali datang ke Pantai Gapang pada 1965. ''Waktu itu belum ada orang yang tinggal di sini,'' katanya. Lima orang anaknya kemudian menikah. Sebagian mereka membangun rumah bersebelahan dengan rumah Gesi di tepi Pantai Gapang.
Gesi dan anak-anaknya membuka warung makanan. ''Tapi sekarang sudah banyak yang berdatangan tinggal di sini,'' tuturnya. Para pendatang itu menetap untuk melayani keperluan para wisatawan. Sebelum darurat militer diberlakukan, warga mendapat banyak penghasilan dari objek wisata tersebut. Karena tingginya angka kunjungan, sepasang warga Belanda tertarik untuk ikut membangun rumah di pinggir Pantai Gapang. Mereka bekerja sama dengan warga setempat membuka jasa penyewaan peralatan menyelam (diving). Tak jauh dari pantai juga terdapat kawasan hutan lindung. Di pinggir hutan terdapat jalan yang berliku-liku serta penuh tanjakan dan turunan. Hutan lindung Gapang tak hanya menawarkan panorama pepohonan. Di siang hari, ratusan ekor kera ekor panjang selalu berjajar di pinggir jalan. Mereka seperti hendak memberi sambutan kepada setiap wisatawan yang datang. Selain Pantai dan Hutan Gapang, pulau berpenduduk sekitar 24 ribu jiwa ini juga punya objek wisata yang monumental, yakni Tugu Kilometer Nol.
Sesuai pengukuran para ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), tugu tersebut berdiri di daratan terluar Kepulauan Nusantara. Tugu Kilometer Nol berada di ujung barat Pulau Weh. Sebelah barat tugu tersebut sudah lautan lepas Samudera Hindia nan biru. Tugu Kilometer Nol berketinggian 22,5 meter. Di puncak tugu terdapat angka nol yang diinjak burung garuda. Wisatawan yang datang ke tempat ini bisa mendapatkan sertifikat kenang-kenangan. Tugu ini berjarak sekitar 29 kilometer dari pusat Kota Sabang dan berada di Desa Iboih, Kecamatan Sukakarya. Objek wisata yang juga menjadi kekayaan Pulau Weh adalah Pantai Anoi Itam. Pantai ini hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat kota Sabang. Di sepanjang pantai terhampar pasir yang sangat hitam makanya dinamai Anoi Itam. Konon, pasir hitam ini terbentuk dari tanah hitam hasil letusan gunung berapi. Di sepanjang pinggir pantai juga terdapat beberapa benteng tua.
Konon, benteng-benteng ini berfungsi sebagai tempat pertahanan dan pengintaian kapal-kapal yang melintas di Selat Malaka. Kebanyakan benteng itu dibangun pada masa penjajahan Jepang (1942-1945). Benteng terbesar terletak di dekat Desa Cot Ba'u. Masih banyak lagi pantai yang bisa menjadi objek wisata di Pulau Weh. Selain Gapang dan Anoi Itam juga ada Pantai Iboih, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Pantai Pasir Putih, juga yang lain. Pantai-pantai itu masih terlihat perawan dan bersih. Lingkungan di sekitarnya juga terlihat alami. Di samping wisata pantai, Pulau Weh juga memiliki objek wisata sejarah. Kota Sabang menyimpan banyak bangunan tua peninggalan zaman penjajahan. Selain benteng, bangunan tua itu antara lain juga berupa rumah sakit, penginapan, serta rumah tinggal. Bangunan-bangunan itu menghadirkan nuansa masa lalu. Rumah sakit yang cukup bersejarah, sekarang menjadi Rumah Sakit TNI Angkatan Laut. Semasa penjajahan Belanda, rumah sakit itu menjadi tempat pengobatan tentara yang mengalami gangguan jiwa akibat peperangan.
Saat diasingkan di Pulau Weh, pahlawan nasional Johanes Latumeten bekerja di rumah sakit ini. Bangunan bagian depan rumah sakit tersebut masih menunjukkan warna aslinya. Kata Kepala Rumah Sakit TNI-AL Eko Priambodo, rumah sakit tersebut sudah beberapa kali direnovasi. ''Tapi dari segi arsitektur, tidak banyak yang rusak,'' katanya. Digunakannya bangunan tersebut menjadi Rumah Sakit TNI-AL katanya dimulai pada 12 Desember 1950. Fungsi utama rumah sakit tersebut adalah melayani anggota TNI-AL dan keluarganya yang bertugas di Pulau Weh dan sekitarnya. Sayang, gangguan situasi keamanan di Provinsi NAD membuat wisata di pulau tersebut benar-benar surut. Pulau Weh ikut dianggap sebagai wilayah yang keamanannya terganggu. Banyak orang menjadi takut berkunjung ke pulau ini. Padahal, Pulau Weh sebenarnya tergolong wilayah yang paling aman di Provinsi NAD.
Property in Jakarta
Houses, Apartments, Land. >28,000 online listings. Searchable
Beasiswa 2008-2009
Kumpulan program beasiswa S1,S2,S3 dalam & luar negeri tahun 2008-2009
 ()
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Kota Sabang
MUNGKIN wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang aman dari gejolak konflik adalah Kota Sabang. Ketika gejolak konflik di daratan Aceh mulai berkecamuk, Kota Sabang sepertinya tidak ikut terpengaruh. Selat kecil yang memisahkan Kota Sabang dengan daratan Aceh mungkin menjadi salah satu penyebabnya mengapa daerah ini relatif tak terpengaruh konflik di Aceh.
RASA aman dan nyaman bisa menjadi modal untuk memberdayakan potensi daerah. Kota Sabang terdiri dari beberapa pulau: Pulau Weh sebagai pulau terbesar, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo. Pulau-pulau ini menyimpan kenangan sejarah dan keindahan alam yang khas.
Peninggalan sejarah seperti kubu pertahanan jumlahnya ratusan di Pulau Weh. Tentara Jepang sejak menduduki Pulau Sabang (1942-1945) membangun tempat persembunyian berupa bungker untuk menghadapi serbuan tentara sekutu.
Bungker ini dapat dijumpai di Pantai Anoi Itam dan di Desa Cot Ba'u. Sisa peninggalan kolonial Belanda pun masih berdiri kokoh di Sabang, seperti dapat dilihat pada bangunan rumah sakit, Hotel Samudera, Losmen Dirgantara.
Peninggalan zaman Jepang dan Belanda ini menjadi tempat wisata sejarah untuk mengenang peperangan. Mantan tentara sekutu dan tentara Jepang atau anak cucunya biasa datang berkunjung untuk bernostalgia mengenang masa-masa ketika mereka atau generasi di atasnya saat berperang di Pulau Weh.
Menara Kilometer Nol di Ujung Ba'u juga memiliki daya tarik tersendiri. Di sinilah letak batas wilayah Indonesia paling barat. Menara tersebut dikelilingi oleh hutan yang masih perawan. Untuk mencapai tempat ini tidak ada sarana transportasi umum sehingga orang harus berjalan selama dua jam dari Iboih.
Keindahan alam Kota Sabang tidak kalah menarik dengan daerah lain. Terumbu karang yang banyak dijumpai di pantai Pulau Rubiah tidak kalah menarik dengan terumbu karang di Taman Laut Bunaken. Di tengah-tengah Pulau Weh terbentang danau air tawar, Danau Anoek Laut yang tampak indah bila dilihat dari Puncak Sabang.
Alam juga berbaik hati kepada Kota Sabang dengan membentuk beberapa teluk yang dapat digunakan untuk pelabuhan, seperti Teluk Sabang dan Teluk Balohan. Pelabuhan Sabang yang terletak di Teluk Sabang telah dipergunakan untuk pelayaran internasional. Sejak zaman Belanda kapal-kapal besar yang akan mengangkut rempah-rempah dari bumi Nusantara merapat di pelabuhan ini. Sedangkan Pelabuhan Balohan yang terletak di Teluk Balohan digunakan untuk penyeberangan kapal-kapal lokal.
Sejak dibuka oleh Sabang Maatschappij pada tahun 1895, pelabuhan Sabang sempat ditutup dua kali. Pertama tahun 1942 ketika tentara Jepang merebut bumi Nusantara dari tangan penjajah Belanda, kedua pada tahun 1985 oleh pemerintah RI. Penyelundupan barang-barang impor yang merebak di Pelabuhan Sabang menjadi salah satu alasannya.
Tahun 2000 pelabuhan bebas Sabang dibuka kembali oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2000 tentang Pencanangan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam gejolak konflik di Aceh.
Pengaruh Pelabuhan Sabang bagi penduduk Kota Sabang cukup besar. Data sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan 47,7 persen dari penduduk bekerja di lapangan jasa dan perdagangan.
Sejak fungsi sebagai pelabuhan bebas ditutup tahun 1985, roda perekonomian Kota Sabang hampir mati. Mata pencaharian penduduk yang mengandalkan pelabuhan sebagai tempat mengais rezeki hilang. Kebutuhan jasa tenaga bongkar muat barang dari kapal-kapal yang merapat ke pelabuhan dengan sendirinya berkurang atau bahkan tidak ada lagi.
Lambat laun jumlah penduduknya menurun. Mereka yang dari rantau kembali ke daerahnya, sementara yang dari Sabang sendiri mencari pekerjaan di daerah lain. Tidak sedikit penduduk yang pindah ke daratan Aceh, bahkan sampai ke Batam. Pada saat itu Batam mulai ditetapkan sebagai tempat kawasan industri dan perdagangan yang strategis karena dekat dengan Singapura.
Pada tahun 1986 jumlah penduduk Sabang tercatat sebanyak 26.712 orang. Tahun 1998 jumlahnya berkurang menjadi 22.844 orang. Sejak Sabang diberlakukan kembali sebagai pelabuhan bebas pada tahun 2000, lambat laun penduduk mulai berdatangan kembali dari daratan Aceh.
Pelabuhan Sabang jadi pelabuhan transit barang-barang ekspor dari wilayah lain. Volume ekspor dari pelabuhan Sabang tahun 2002 mencapai 57.384 ton dengan nilai 11,5 juta dollar AS. Komoditas yang diekspor ini meliputi hewan ternak (seperti lembu, sapi), pupuk urea, sarung tangan dari karet, barang-barang dari plastik, hingga produk perikanan seperti tuna segar.
Sayang, kegiatan impor dan ekspor agak tersendat lagi sejak awal tahun 2003. Salah satu penyebabnya adalah pemberlakuan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengenai pembatasan impor beras, gula, dan mobil bekas.
Saat ini kegiatan perdagangan di Kota Sabang yang pada tahun 2001 mencapai Rp 22,6 miliar meredup kembali. Kota yang perekonomiannya bersandar pada perdagangan pelabuhan ini seakan-akan tidak dapat hidup bila kegiatan di pelabuhan tidak berkembang.
Padahal, Pemerintah Kota Sabang sedang giat membangun sarana dan prasarana umum untuk memikat penanam modal. Bahkan pada realisasi APBD tahun 2001, tercatat 70 persen pendapatannya dialokasikan untuk belanja pembangunan. Sektor transportasi seperti pembangunan dan perbaikan prasarana jalan dan jembatan menyita sebagian besar dana senilai Rp 16,1 miliar. Kegiatan ekonomi ini akan terasa sia-sia bila tidak didukung faktor keamanan dan regulasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang kondusif.
Mobil Mewah, Gula, "Komoditas Baru" Sabang
SABANG. Sebuah kota berpenduduk 23.000 jiwa yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera, yaitu Pulau Weh. Sejak pemerintah menetapkannya sebagai Pelabuhan Bebas, Sabang menjadi bahan pembicaraan semua orang.
Penduduk daratan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun berbondong-bondong berdatangan ke sana untuk mendapatkan berkah dari pelabuhan bebas. Namun, seperti halnya masyarakat Sabang, para pendatang juga harus pasrah berhadapan dengan kenyataan.
Sebabnya, meskipun berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 Sabang telah berstatus Pelabuhan Bebas, ternyata pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Bahkan, geliat pertumbuhan masih terlihat minim.
Padahal, tahun 2003 ini usia status Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang telah memasuki tahun ketiga. Pemerintah pusat pun telah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Semula, masyarakat Sabang mengharapkan status pelabuhan bebas dapat mengembalikan kegagahan roda perekonomian di pulau yang berbukit-bukit seluas 153 kilometer persegi ini. Tetapi, kenyataannya tidak demikian.
Sampai bulan Februari 2003 lalu, Pelabuhan Bebas Sabang baru berhasil memasok sedikitnya 4.000 unit mobil mewah eks-Singapura, beberapa ton tepung terigu, dan gula.
Setelah itu timbullah masalah baru. Ternyata pemerintah tidak mengizinkan seluruh barang tersebut masuk ke wilayah pabean Indonesia.
Akibatnya, dari jumlah tersebut, hanya 1.300 unit mobil saja yang diperbolehkan masuk ke daratan Aceh. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini MS Soewandi hanya memberikan kuota impor sebanyak itu atas permintaan Gubernur NAD Abdullah Puteh pada tahun 2002.
Di luar kuota itu, impor mobil mewah eks-Singapura tidak diizinkan untuk dibawa masuk ke daratan Aceh, dan hanya boleh digunakan di kawasan Sabang saja. Adapun untuk komoditas gula, masyarakat diperbolehkan untuk membawanya ke daratan Aceh.
"Maksimal seratus kilogram gula per orang. Itu berarti dua zak. Lebih dari itu, tidak boleh," papar Dahniar, warga Desa Lambada, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Dahniar merupakan salah seorang dari ratusan warga Aceh daratan yang khusus pergi ke Sabang membeli gula impor untuk dijual lagi di daratan.
Dia biasa membeli gula seharga Rp 123.000 per zak seberat 50 kilogram di Pelabuhan Bebas Sabang. Sesampainya di daratan, dia bisa menjual seharga Rp 160.000 per zak.
Memang, pemerintah mengizinkan setiap orang membawa barang tentengan dari Pelabuhan Bebas Sabang maksimal 100 kilogram atau senilai 750 dollar AS. Bahkan, jika keluarga, maka nilai barang tentengan menjadi 1.500 dollar AS sekali bawa.
Kemudahan ini dimanfaatkan oleh para pedagang dari Aceh daratan. Mereka menggunakan jasa pengunjung Sabang yang akan kembali ke daratan Aceh dengan menumpang KMP Pulau Rubiah dari Pelabuhan Balohan, Sabang, setiap pagi.
Nakhoda feri penyeberangan membolehkan setiap penumpang membawa dua zak gula menyeberang ke Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Para penumpang hanya perlu menunjukkan tiketnya agar boleh membawa gula tersebut.
Biasanya, para pedagang membayar Rp 25.000 sebagai ongkos menitipkan dua zak gula tersebut. Pedagang juga menyediakan buruh angkut yang akan mengantarkan gula ke atas feri di Pelabuhan Balohan, Sabang, sehingga penumpang tidak perlu repot sama sekali.
Kemudian, ketika penumpang tiba di Pelabuhan Malahayati, sudah menunggu orang yang akan mengambil gula yang dititipkan pada penumpang itu. Pedagang biasanya juga menampung gula yang memang merupakan barang tentengan penumpang di Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.
Tetapi, para pedagang menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan di Banda Aceh, sekitar Rp 145.000-Rp 150.000 per zak. Namun, hal itu tidak menjadi masalah bagi sebagian penumpang.
Sebabnya, pendapatan dari menjual gula di pelabuhan sudah menutupi seluruh ongkos yang dikeluarkan dengan keuntungan yang cukup. Saat ini, tarif feri kelas ekonomi dari Pelabuhan Balohan ke Pelabuhan Malahayati dan sebaliknya Rp 10.000 per orang.
Sementara itu, tarif angkutan kota (angkot) dari Balohan ke Pelabuhan Bebas Sabang yang berjarak 20 kilometer sekitar Rp 5.000. Demikian pula tarif angkot dari Banda Aceh ke Pelabuhan Malahayati yang berjarak 30 kilometer, hanya Rp 6.000 per orang.
Oleh karena itu, sebagian warga daratan memilih berwisata ke Sabang setiap akhir pekan sambil membawa gula impor ketika kembali ke daratan. "Lumayan, kan? Hitung-hitung bisa menutupi ongkos berwisata ke Sabang," kata Sudirman, mahasiswa Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang baru pulang berwisata di Sabang.
Sabtu, 06 Agustus 2005
Melihat Daerah Tertinggal dari Kantor Kepala Daerah
Kementerian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal sedang gencar melihat secara langsung daerah yang dikategorikan tertinggal. Kali ini giliran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang mendapat kunjungan rombongan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf, 1-2 Agustus lalu.
Kunjungan Pak Menteri langsung turun ke daerah tertinggal dan berdialog langsung dengan masyarakat di sana urung dilaksanakan. Dengan alasan keamanan, rombongan Saifullah tidak sampai ke wilayah untuk merasakan ketertinggalan daerah yang dikunjunginya. Saifullah terpaksa hanya sampai ke Pendopo Gubernur NAD, Kantor Bupati Pidie, Pendopo Bupati Bireuen, dan Kantor Wali Kota Sabang.
Saifullah hanya berdialog dengan aparat pemerintah daerah dan kepala daerah. Kondisi daerah tertinggal yang biasanya mengenaskan pun hanya didengar dari kepala daerah dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. ”Kami tidak bisa ke lapangan karena tidak ada jaminan keamanan untuk sampai ke daerah yang tertinggal,” kata Saifullah.
Kunjungan rombongan Saifullah mendapat sambutan hangat dari para kepala daerah. Bahkan, Wali Kota Sabang Sofyan Haroen pun meminta daerahnya dimasukkan dalam kategori daerah tertinggal. Padahal, Kota Sabang merupakan pelabuhan bebas dan pendapatan asli daerahnya terus meningkat dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 miliar.
”Kami justru bangga kalau dikatakan daerah tertinggal,” ungkap Sofyan Haroen. Alasannya, dengan menjadi daerah tertinggal, mereka bisa mendapat dana bantuan untuk membangun daerahnya.
Semua wilayah di NAD yang masuk dalam kategori tertinggal disebabkan konflik yang terjadi di sana. Di Provinsi NAD terdapat 20 kabupaten/kota, dan 16 kabupaten di antaranya termasuk daerah tertinggal. Saifullah mengungkapkan, sebelum bencana gempa dan tsunami, hanya 12 kabupaten di NAD yang tertinggal. Akibat tsunami, ditambah empat kabupaten lagi yang kemudian masuk dalam kategori tertinggal, secara keseluruhan daerah tertinggal sebanyak 199 kabupaten.
Dalam kesempatan pertemuan dengan Penjabat Gubernur NAD Azwar Abubakar, Saifullah berjanji memberikan sekitar Rp 3-5 miliar setiap kabupaten untuk membantu pembangunan di daerah. Dana ini dari Bank Dunia. Diharapkan dengan bantuan dana itu, dalam lima tahun ke depan angka 199 bisa berkurang menjadi 15-20 daerah tertinggal.
Salah satu daerah tertinggal yang dikunjungi ialah Bireuen. Bupati Bireuen Mustafa Glanggang menceritakan, dari 522 desa di Bireuen, sekitar 300 desa di antaranya belum dialiri listrik dan tidak ada sarana jalan. ”Ketertinggalan desa di Bireuen, 80 persen disebabkan konflik dan juga menjadi korban tsunami,” katanya.
Sebagian besar warga yang tinggal di desa, lanjut Mustafa, banyak mengungsi ke ibu kota kabupaten karena takut dengan serangan Gerakan Aceh Merdeka. Akibatnya, desa yang ditinggalkan pun menjadi sepi dan tidak berkembang.
Di Sabang, rombongan sempat mampir ke Tugu Kilometer Nol yang berjarak 36 kilometer dari Kota Sabang. Saifullah mengungkapkan, pemerintah mempunyai perhatian serius terhadap daerah perbatasan meski bukan daerah tertinggal, seperti Kota Sabang.
Sofyan Haroen berharap pemerintah juga tidak melupakan Pulau Rondo. Pulau Rondo merupakan pulau terluar dari wilayah RI, letaknya paling barat dari Pulau Sabang. Jika pemerintah tidak memberikan perhatian khusus terhadap Pulau Rondo, bisa saja pulau tersebut akan diakui oleh negara lain.
Pemda Sabang telah mendirikan mercusuar di daerah itu. Polisi dan Angkatan Laut pun membuat prasasti yang menandakan pulau itu merupakan wilayah RI. (Susie berindra)

Nyebrang ke Sabang

Siapa yang tidak mengenal kota Sabang?. Sejak SDkita sudah hafal lagu wajib “Dari Sabang sampai Merauke” yang menunjukkan kota paling Barat dan paling timur di Indonesia. Belum lama ini, oleh sebuah iklan mie instant, syair tersebut ditambahkan “Dari Timor sampai ke Talaud”, yg menunjukkan daerah paling selatan dan paling utara di Indonesia.

Sayangnya belum banyak orang yang mengenal kota Sabang lebih jauh dari mengenal lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Sabang merupakan salah satu obyek wisata di Indonesia. Terletak di P.Weh, pulau paling barat diwilayah NKRI. Konflik yang berkepanjangan di wilayah NAD membuat tempat wisata disana kurang banyak dikunjungi dibanding misalnya Danau Toba dan Brastagi di Sumatra Utara.
Setelah Tsunami, wilayah NAD mulai aman dari konflik bersenjata. Kehadiran NGO dan tim bantuan membuat NAD lebih terbuka dan ramai dikunjungi. Setelah dua bulan tinggal di Aceh, saya pun tidak mau melepaskan kesempatan mengunjungi tempat ini.
Dari Banda Aceh menuju Sabang dapat ditempuh dengan Kapal Ferry maupun kapal nelayan sewaan. Ferry besar yang menampung mobil berangkat dari pelabuhan Malahayati, di Krueng Raya, dengan waktu tempuh selama dua jam hingga pelabuhan Balohan di Sabang.Sedangkan Ferry cepat yang hanya mengangkut orang berangkat dari pelabuhan Ulee lheu dengah waktu tempuh satu jam hingga tiba di pelabuhan yang sama..
Dengan waktu tempuh yang dua kali lipat, Ferry besar memberikan tarif yang sangat ekonomis, yaitu 12 ribu rupiah, sedangkan Ferry cepat, harga tiket yang paling murah 60 rb, kelas bisnis 70 rb dan kelas eksekutif 100 rb. Sayangnya pemberangkatan Ferry besar hanya satu kali sehari, pada jam 14.00 siang dari Malahayati.dan jam 07.00 pagi dari Balohan. Sedangkan Ferry cepat dua kali sehari dari Banda Aceh maupun dari Sabang, yaitu pukul 09.30 dan 16.00. Oleh karena itulah dengan harga tiket yang lima kali lipatnya, banyak orang yang tetap memilih naik Ferry cepat, jadwalnya cukup untuk bepergian selama dua hari.
Pulorondo2 Selama program rekonstruksi, sabtu-minggu banyak sekali wisatawan asing yang berkunjung ke Sabang. Sabtu pagi, 22 Juli lalu, saya bersama beberapa teman dari Oxfam dan seorang teman dari UN Habitat berangkat ke Sabang. Kapal Ferry Pulo Rondo yang kami naiki, penuh dengan penumpang yang lebih dari setengah adalah warga negara asing, dan sekitar sembilan puluh persen penumpang adalah pekerja NGO yang ingin berlibur. Sambil menunggu pemberangkatan, saya sempat berkenalan dengan seorang perempuan muda, warga negara perancis yang bekerja di salah satu NGO Perancis, sudah hampir satu tahun di Aceh dan proyeknya akan selesai bulan Juli ini. Perjalanan ke Sabang kali ini merupakan perjalanan kesekian. Tidak hanya dirinya, banyak diantara penumpang kapal yang pergi kesekian kalinya. Sabang sepertinya merupakan tempat liburan yang terdekat dan menarik.
Sampai di Balohan jam menunjukkan pukul 10.30. Dari Balohan, sudah menanti minibus-minibus sewaan. Sayangnya disini memang kita tidak mempunyai pilihan kendaraan sewaan yang bagus. Kendaraan sewaan yang ada rata-rata adalah L300 dan kijang lama dengan kondisi yang sudah doyok. Tarif nya juga kurang bersahabat, 50 ribu sekali jalan dari pelabuhan ke salah satu tempat wisata. Setelah gagal menawar tariff, kami akhirnya naik salah satu L 300 yang kondisinya better. Berjubel dengan rombongan lain, yang sama-sama ingin ke Pantai Iboih.
Perjalanan melewati jalan aspal menanjak yang cukup bagus dengan median jalur hijau yang dibatasi kanstin – tampak baru dibangun oleh BRR Aceh – Nias. Sekitar lima belas menit kemudian mulai tampak laut biru yang cerah. Selanjutnya jalan aspal agak berbatu berkelok-kelok dengan pemandangan laut disebelahnya. Ketika melalui kelokan dengan view yang sangat bagus, kita meminta supir berhenti sebentar untuk mengambil foto.
Sabang_004_6
Setelah berfoto ria, kami melanjutkan perjalanan, sekitar tiga puluh menit kemudian kami sampai di pantai Gapang. Resort-resort yang cukup terawat tampak di pinggir pantai. Tarif cootage ini sekitar 300 ribu/malam untuk cottage dengan satu kamar. Mobil sewaan kami berhenti disini menurunkan beberapa penumpang, sambil menunggu penumpang lain yang ingin ke toilet.

Saya melihat-lihat keindahan pantai Gapang dari bangunan panggung yang merupakan tempat reservasi dan ruang pertemuan cottage tersebut. Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Sekitar lima belas menit kemudian kami sampai di Pantai Iboih. Hamparan pasir putih dan laut yang bening dengan ombak yang tenang membentang di depan mata.
Sabang_057_1
Tidak seperti tempat wisata pantai di Jawa yang ramai dengan penginapan dan para pedagang. Pantai disini sepi, hanya beberapa rumah yang membuka warung. Di gerbang masuk, ada wanita muda yang menarik retribusi tempat wisata. Menurutnya kebetulan tiketnya sedang habis, jadi kami tidak melihat tiket masuk tersebut.
Dari gerbang, jalan menanjak dan menurun melalui jalan setapak plesteran yang berundak-undak ditutupi rimbun pohon yang berada sekitar sepuluh meter diatas laut. Di sebelah kiri jalan tampak berpencar-pencar bangunan penginapan dari kayu. Di sebelah kiri tampak pantulan sinar matahari dari air laut memancar melalui sela-sela daun Sekitar limaratus meter kemudian barulah kami sampai di pantai landai yang cukup ramai.
Beberapa wisatawan asing ada yang berjemur, ada yang berendam di laut dan beberpa lagi ramai mengunjungi stand Rubiah Diving.
Di Iboih tidak ada penginapan yang cukup permanen. Penginapan hanya berupa bangunan dari papan dengan fasilitas seadanya seperti kasur kapuk yang sudah tipis lengkap dengan kelambunya, buatan para penduduk, disewakan dengan tarif sekitar 60 – 80 rb rupiah permalam. Kamar mandi tertutup hanya ada satu di WC umum, itupun tidak boleh digunakan untuk mandi, hanya untuk buang air. Jika ingin mandi, dipersilakan menggunakan “sumur” , yang merupakan dinding tembok tanpa pintu. Airnya harus ditimba dari sumur yang cukup dalam.
Siang itu, setelah menyewa kamar, kami menaruh barang-barang, kemudian makan siang, memesan nasi goreng dari salah satu warung. Setelah makan kami melihat sekumpulan anak muda sedang mencetak adukan semen dalam kotak kayu panjang. Kami menghampiri dan bertanya. Ternyata mereka adalah mahasiswa dari PTN di Jawa yang sedang KKN disini membuat terumbu karang. Sabang_015_1Proyek tersebut dikelola oleh Pak Doden, salah satu sesepuh Iboih yang pernah mendapatkan penghargaan atas perhatiannya terhadap terumbu karang di teluk sabang ini. Selain itu, Pak Doden juga merupakan maestro diving, dialah pengelola Rubiah Diving, sekolah menyelam dengan standar internasional. Kami sempat menemui Pak Doden, bercerita seputar pelestarian terumbu karang dan kegiatan diving. Setelah puas bertanya, kami melanjutkan acara dengan snorkeling.
Untuk menuju tempat snorkeling kami, menyewa perahu dengan harga 200rb dan alat-alat snorkeling masing-masing 15rb untuk kaki bebek, pelampung dan masker. Perahu berjalan menuju Pulau Rubiah, pulau kecil yang didalamnya terdapat makam Rubiah, salah satu leluhur yang merupakan wali yang disegani di Sabang,
Sabang_079_1
Kami snorkeling melihat taman laut teluk Sabang yang bening dan cantik. Terumbu karang disini tidak terlalu unik, tetapi ikan-ikannya sangat cantik, beraneka ragam dan berwarna-warni. Ombaknya sangat tenang, sehingga tidak terlalu khawatir terbawa arus. Namun bagaimanapun harus selalu waspada, jika keasikan berenang, begitu bangun sudah berada jauh ketengah laut. Disini tidak ada petugas jaga, jadi wisatawan harus menajaga diri sendiri. Saya teringat ketika snorkeling di Tanjung Lesung dua tahun lalu dengan tarif sekitar 90rb perorang yang waktunya dibatasin selama satu jam. Disini, tidak dibatasi waktu, sepuas-puasnya.
Sabang_093Sekitar jam 17.00, kami diantar si abang perahu ke tempat yang terdapat mata air panas. Mengitari pulau, sapailah di pantai bagian lain yang banyak pohon bakaunya. Tidak jauh dari pantai terdapat sumur air hangat. Kami mengguyur badan dengan air sumur itu untuk menghilangkan lengket air laut. Segar sekali rasanya. Anehnya, air laut disekitar pantai itu juga terasa hangat. Menurut si abang perahu, konon karena dibawah laut disekitar daerah itu terdapat gunung berapi.
Setelah puas berguyur ria, kami kembali kepenginapan, sekitar jam 18.30 kami sampai, matahari mulai siap tenggelam. Kami beres-beres, kemudian mencari makan malam. Karena malas berjalan jauh, makan malam di Kafe Chill Out, ruko kecil yang terletak disebelah stand rubiah diving. Malam itu Chill Out ramai sekali. Memesan Indomie rebus dan the manis hangat harus menunggu hampir satu jam. Sayangnya pelayanan di kafe ini kurang bersahabat karena pemilik kafe kurang prepare perlengkapan memasak serta lebih mendahulukan warga asing.
Sekitar jam 22.00 kami kembali ke kamar untuk istirahat. Dalam kamar dari papan kami pun seba salah, jika pintu ditutup terasa panas, tetapi jika dibuka nyamuknya sangat banyak.
Esok harinya beberapa teman meneruskan acara berenang di laut. Saya hanya berjalan-jalan berkeliling menyusuri pantai. Kami sarapan dikios dekat gerbang sambil membicarakan rencana ke Kilometer Nol.
Dari Iboih ke Kilometer Nol, harus menyewa mobil lagi seharga 150 ribu. Sekitar pukul 10.30 kami berangkat ke Kilometer Nol. Pemandangan sepanjang jalan kesana tidak banyak berbeda dengan pemandangan dari Balohan ke Iboih. Sekitar dua puluh menit kami sampai disana.
Sabang_062

Saya tadinya berpikir di Kilometer Nol ada tempat wisata yang terdapat orang-orang yang datang maupun berjualan. Ternyata saat itu hanya kami satu mobil yand datang. Tempatnya hanya berupa jalan diatas bukit yang bawahnya langsung laut, disekitarnya terdapat tugu kilometer nol yang merupakan tanda dimulainya perhitungan jarak di Indonesia. Darah ini merupakan titik paling barat wilayah NKRI. Disamping kita, sejauh mata memandang, terhampar lautan luas, biru agak pekat, dengan ombak yang berdebur.. Saya tertegun melihat keindahan alam disini.
Sabang_066_1
Tidak puas memandang Samudra Hindia dari atas, kami turun ke laut, menuruni lereng setinggi kurang lebih 15 m dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Berpegangan dan berpijak pada akar-akar pohon dan batu, akhirnya sampai juga dibatu karang-batu karang besar. Menyaksikan keindahan lautan luas dari dekat, dekat sekali.
Setelah puas memandang dan memotret, kami naik , balik ke mobil dan kembali ke Pantai Iboih. Sampai di Iboih sekitar jam 13.30, kemudian berisap-siap untuk pulang. Sekitar jam 14,00 kami berngkat pulang, dengan mobil sewaan yang sudah siap mengantar kembali ke pelabuhan Balohan dengan rute melaui pusat kota Sabang, rute yang berbeda dengan perjalanan berangkat.

Saya letih sekali dalam perjalanan pulang ini, panas yang menyengat membuat kantuk semakin menjadi-jadi. Dalam keadaan setengah sadar dan tidur, sempat melihat keadaan kota Sabang, namun tidak sempat melihat mobil-mobil mewah yang katanya banyak bersliweran didaerah dengan pelabuhan bebas ini.
Sebenarnya masih banyak tempat lain di Sabang yang menarik untuk dikunjungi, ytu air terjun, gua alam dan benteng Belanda. Namun keterbatasan waktu dan transportasi umum yang kurang fleksibel membuat ber-backpacker menjadi terbatas. Untuk next trip mungkin lebih baik membawa kendaraan sendiri, naik Ferry besar dan lebih dari dua hari .
Sekitar jam 15.00 kami tiba di pelabuhan Balohan. Mengambil tiket Ferry yang sudah dipesan, kemudian nongkrong di warung mie untuk makan siang. Tampak para calon penumpang menghampiri pedagang makanan khas Sabang – Bakpia dan Dodol Sabang – yang bersliweran disekitar pelabuhan. Jam 15.30 kami masuk ke Ferry. Jam 15.45 Ferry berangkat.
Goodbye Sabang..., I’ll come back, sometime… somehow…
Mata sudah sangat berat ketika tiba di Ulee lheu jam 16.45. Untungnya ditawari pulang bareng mobil jemputan Oxfam. Thanks untuk teman-teman Oxfam. (dys)
PEMBENTUKAN PANGKALAN UDARA SABANG

Pangkalan Udara Sabang memiliki nilai yang sangat strategis karena terletak diujung barat Indonesia atau orang sering menyebut di kilometer nol. Sangat strategis karena pengamatan baik wahana udara maupun laut dapat dilakukan dengan optimal diwilayah Sabang. Oleh karena itu baik AURI maupun ALRI pada saat itu sangat berkepentingan untuk menghadirkan kekuatan Alutsista di wilayah Sabang.

Periode 1958 – 1963 Pembentukan Pangkalan Udara Sabang

Dengan dipindahkannya AURI/TNI AU yang berkedudukan di Banda Aceh ke Sabang, sejak itu pulalah TNI AU mulai benar-benar mengelola pangkalan udara Sabang, untuk dapat melaksanakan tugas pokok TNI AU yaitu Swa Bhuana Paksa atau menjadi sayap tanah air.

Pengelolaan dan peningkatan pangkalan udara Sabang dimantapkan lagi setelah adanya surat keputusan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Muda Udara Omar Dani Nomor 23 Tahun 1963 tanggal 15 Juli 1963 yang menetapkan bahwa Pangkalan Udara Sabang adalah Pangkalan Udara Militer yang dikelola penuh oleh TNI AU. Tanggal 15 Juli 1963 ditetapkan sebagai hari jadi Pangkalan TNI AU Sabang.

Disamping itu Lanud Sabang berkewajiban mengawasi beberapa Air Strip di Aceh yaitu Lhokseumawe, Bireuen, Samalanga, Padang Tidji, Lhok Nga, Troemon.

Periode 1963 – 1982 Sebagai Pangkalan Aju

Dengan adanya Skep Dirjen Agraria Nomor SK. 2/H-Peng-68 tanggal 02 Agustus 1968 tentang pemberian hak pengelolaan tanah militer kepada Departemen Pertahanan Keamanan RI cq. Angkatan Laut RI yang terletak di Sabang (Pulau Weh), maka terdapatlah dua dokumen yang sama mengenai status lapangan terbang Sabang yang terletak di desa Cot Ba’u di Sabang. Hal ini sangat berpengaruh dalam rangka pengembangan Lanud Sabang selanjutnya.

Mengingat letak geografis, politis dan psychologis Sabang sebagai ujung barat dari tanah air kita dan juga meningkatnya objek-objek vital di daerah Aceh, maka meningkat pulalah nilai strategis Lanud Sabang. Oleh karena itu sesuai dengan strategi penggelaran Pangkalan Udara dalam konsepsi Pertahanan Daerah Udara I Tahun 1979-1984 Lanud Sabang ditetapkan sebagai Pangkalan aju bagi operasi-operasi udara untuk pengamatan udara dan maritim di daerah Samudra Hindia, Kepulauan Nikobar, Teluk Benggala dan Selat Malaka. Kedudukan yang strategis dan dengan peningkatan kemampuan Lanud Sabang akan memperluas jangkauan operasi pengamatan udara dan maritim kearah lautan di sekitarnya.

Periode 1982 – 1985 Penggelaran Alutsista

Menyadari Lanud Sabang merupakan pangkalan aju bagi operasi-operasi udara serta meningkatnya nilai strategis dari Lanud Sabang, maka mulai pertengahan tahun 1982 dengan konsentrasi usaha yang optimal Lanud Sabang berusaha untuk meningkatkan segala fasilitas, sarana dan prasarana dalam rangka mendukung kegiatan operasi-operasi udara. Pada saat itu dilaksanakan pembangunan hanggar pesawat, tower pengatur lalu lintas udara dan kantor “base operation” untuk mendukung operasi udara. Dengan fasilitas, sarana dan prasarana yang masih sangat sederhana sejak awal tahun 1983 Lanud Sabang telah mampu menerima dan melaksanakan penggelaran Alutsista udara yaitu Pesawat OV-10 Bronco dalam rangka pelaksanaan operasi udara penumpasan gerakan separatis GAM selama tiga bulan, C-130 B untuk pelaksanaan dukungan logistik dan Paum 112 dengan pesawat F-27 Foker. Hal ini merupakan kebanggaan Lanud Sabang. Disamping itu merupakan harapan bagi masyarakat Sabang khususnya dan masyarakat Aceh pada umumnya, harapan tersebut muncul sejak tahun 1950-an. Karena masyarakat Aceh sejak awal revolusi fisik telah terjadi hubungan yang cukup unik dan mendalam dengan TNI AU yaitu dengan hadirnya pesawat angkut RI-001 Seulawah.



Hanggar Pesawat




Tower dan Kantor Base Operation

Dengan diterbitkannya surat keputusan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Muda Udara Omar Dani Nomor 23 Tahun 1963 tanggal 15 juli 1963 yang menetapkan bahwa Pangkalan Udara Sabang adalah Pangkalan Udara Militer yang dikelola penuh oleh TNI AU dan Skep Dirjen Agraria Nomor : SK. 2/H-Peng-68 tanggal 02 Agustus 1968 tentang pemberian hak pengelolaan tanah militer kepada Departemen Pertahanan Keamanan RI cq. Angkatan Laut RI yang terletak di Sabang (Pulau Weh), maka terdapatlah dua dokumen yang sama mengenai status lapangan terbang Cot Ba’u di Sabang. Hal ini menyebabkan masing-masing pihak merasa berhak untuk mengelola lapangan terbang ini.

Aslog KASAL dengan Surat Nomor : B/1285/IX/1984 tanggal 3 September 1984 tentang rencana pembangunan kantor perwakilan TNI AL di Lanud Sabang, TNI AL ingin membangun kantor perwakilan di Lanu Sabang seluas 10 x 30 m2 dengan bangunan bertingkat, namun dijawab oleh Aslog KASAU Marsekal Pertama TNI Ir. Sukendro Wardojo bahwa bangunan tersebut dirasa cukup tidak perlu bertingkat, dengan jawaban surat nomor : B/900-16/239/1/Slog. Dari fakta surat menyurat tersebut masing-masing pihak berkepentingan untuk menggelar Alutsista di Lanud Sabang karena letak yang cukup strategis yaitu di corong barat Indonesia. Namun demikian jauh sebelum itu telah terbit Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang Nomor : 023/P/KSAP/1950 tanggal 25 Mei 1950 tentang Lapangan Terbang serta Bangunan-bangunan yang termasuk Lapangan dan Alat-alat yang berada di Lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk pemeliharaan Lapangan-lapangan menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia. Yang ditandatangani oleh Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB. Simatupang. Maka jelaslah kepemilikan Lanu Sabang.
Jalan Raya Kota Sabang Dibenahi

Banda Aceh, 12 Desember 2000 21:11
Peningkatan jalan negara dan provinsi di Kota Sabang, Pulau Weh (Aceh), sepanjang 50 km akan menelan dana sekitar Rp 60 milyar, kata Walikota Sabang, Sofyan Haroen.

Dana peningkatan status jalan raya di kawasan pulau wisata andalan Aceh itu bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pembangunan Belanja negara (APBN) tahun 2001, katanya kepada 'Antara' di Banda Aceh, Selasa.

Pembangunan jalan raya di sana yang paling mendesak adalah dari Kelurahan Balohan menuju kota Sabang, diperkirakan sejauh 14 km. "Jalur ini akan menjadi prioritas pertama untuk dibangun," kata Sofyan.

Jalan raya dengan aspal hotmix itu lebarnya antara 12-23 meter, dijadualkan mulai setelah peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden Megawati, 21 Desember 2000.


"Peningkatan status jalan raya di kota Sabang itu merupakan rangkaian dari upaya mempercepat realisasi pembangunan Pulau Weh sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas," kata walikota.

Ia merinci, dari total sepanjang 50 km jalan yang akan dibangun itu, masing-masing 14 km Balohan--kota Sabang, 30 km Kota Sabang menuju kawasan kilometer "nol" dan 6 km di sekitar pusat kota.

"Yang jelas, kita akan terus memacu pembangunan kota Sabang yang berpenduduk sekitar 24.000 jiwa itu. Sehingga nanti Pulau Weh benar-benar siap menjadi kawasan yang cukup maju serta menjadi daerah industri yang mampu menampung ribuan tenaga kerja dari daratan," kata Sofyan Haroen. Yang dimaksudnya dengan 'daratan' adalah kawasan Aceh di seberang Pulau Weh.
Selasa, 04 September 2007 12:36 WIB
MONUMEN NOL KILOMETER DI SABANG TERBENGKALAI
Metrotvnews.com, Sabang: Siapa yang tidak kenal dengan lagu berjudul Dari Sabang sampai Merauke? Lirik lagu tersebut menggambarkan bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Kata Sabang memainkan peran penting dalam pemikiran geopolitik di Indonesia. Pasalnya, kota Sabang adalah wilayah paling timur di Indonesia. Sabang seolah harus selalu siap menghadapi ancaman dari luar Indonesia.
Kota Sabang memiliki tugu peringatan bernama Monumen Nol Kilometer. Terletak di Desa Ujung Bau, sekitar 29 kilometer dari Kota Sabang, akses yang buruk membuat jarak tersebut harus ditempuh selama satu jam. Di sepanjang jalan menuju monumen, terdapat hutan lebat yang dihuni berbagai satwa liar. Sejumlah kera sering muncul jika melihat pengunjung yang datang ke monumen tersebut. Selain itu, tampak tebing setinggi 35 meter di depan monumen yang langsung menghadap Laut Andaman dan Samudera Indonesia.
Secara simbolis, monumen Nol Kilometer menjadi ikon keutuhan negara republik indonesia. Sayangnya, monumen yang terdiri dari tiga tingkat itu sangat terbengkalai. Hampir seluruh bagian monumen tampak kotor dengan berbagai grafiti. Sejumlah pengunjung bahkan membuat prasasti atau menempelkan plakat liar di beberapa bagian bangunannya.
Bangunan pendukung di sekeliling monumen juga terlihat rusak. Akibatnya, para pengunjung tidak bisa berlama-lama berada di sana karena fasilitas umum seperti kamar mandi dan tempat duduk tidak bisa lagi dinikmati. Padahal, suasana menjelang matahari terbenam di sana sangat menarik untuk dinikmati. Selain makna politis, monumen ini juga sering dijadikan acuan penghitungan jarak di Indonesia. Penduduk setempat berharap agar pemerintah mau memperhatikan monumen kebanggaan mereka.(YUL)

di titik nol kilometer

Titik nol kilometer tidak berupa sebuah menara.
Juga tidak berwujud sebuah tugu peringatan, dengan papan nama yang dipancang permanen, tempat orang-orang bisa berfoto bersama. Dimana nanti mereka bisa memajang foto mereka yang berbingkai perak dengan rasa bangga di ruang tamu, demi bisa menepuk dada dan berkata kepada setiap pengunjung temporernya “Oh ya, saya pernah kesana. Ke titik nol kilometer dunia.” Berusaha keras mengundang decak kagum dan antusiasme basa-basi di sela-sela dentingan cangkir teh dan kopi.
Bukan itu.
Karena sebenarnya, titik nol kilometer lebih berupa sebuah hutan. Atau tepatnya, sebuah rimba yang demikian besarnya, dimana akar-akar pohon tertua di dunia terurai seperti lebatnya rambut yang tumbuh di kepala. Sementara pohon-pohon berdaun lebar berlomba mencapai angkasa, saling sikut, saling tebas, saling libas, saling dorong, saling sandung, saling tepuk, saling tindih, saling tumpuk. Tapi juga sekaligus saling taut, saling rangkul, saling tarik, saling peluk.
Yang membuat kegelapan menjadi begitu pekatnya di titik nol kilometer. Karena setiap lembar daun yang lebar kelewat sibuk berkutat dalam hubungan cinta-benci mereka, tanpa pernah sekalipun bisa beranjak untuk pergi. Atau setidaknya sedikit menyingkir, menyilakan sedikit sinar matahari mampir, agar memerahkan permukaan tanah yang lembab, atau menghangatkan tulang-tulang yang bergemeletukan dari bibir-bibir yang tanpa henti mengepulkan uap.
******
Titik nol kilometer bukanlah satu objek wisata.
Orang tidak sukacita pergi ke sana untuk tamasya, menumpang kapal feri di akhir pekan dengan menenteng keranjang piknik berisi setumpuk sandwich daging asap beroles mustard, ditemani sebotol besar limun dingin.
Pada kenyataannya, justru banyak orang yang lupa bagaimana caranya mereka bisa mencapai titik nol kilometer. Sebagian mengaku, mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan rata-rata—sekitar 60-70km/jam—untuk kemudian seketika tiba di titik nol kilometer. Sebagian bercerita bahwa mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan tinggi—mungkin sekitar 270-300km/jam—dan wush!, mereka terbang kesana. Ke titik nol kilometer, dimana kisah ngebut-nekat-rayakan-hidup-hari-ini milik mereka disimak dengan tekun oleh sekelompok orang yang bahkan tak punya kendaraan pribadi untuk mengendarai hidup mereka sendiri. Yang membuat kelompok ini terpaksa berdesakan setiap pagi dan petang dalam angkutan umum, bermandi peluh dan letih, dengan hasrat mengenyangkan diri dengan sepiring makan malam hangat, berlaukkan secuil mimpi dan sebutir harapan.
Ya, mereka semua tersesat disana.
Tanpa satupun juga bunyi alarm peringatan, atau sedikitnya beberapa rambu petunjuk jalan. Sehingga mereka setidaknya bisa melakukan antisipasi dini untuk melunasi semua tagihan dan hutang, menutup rekening di bank, menyumbangkan pakaian dan beramal. Atau menulis sejumlah kartu ucapan terima kasih pada orang-orang terkasih.
Tidak.
Karena saat orang tersesat di titik nol kilometer, tak pernah tersedia fasilitas berupa sedikit waktu untuk pamit. Lebih tepatnya, tidak tersedia layanan fasilitas apapun di titik nol kilometer. Tidak ada restoran atau kafetaria. Tidak ada apotek. Tidak ada klinik. Tidak ada toilet. Tidak ada internet. Tidak ada motel. Tidak ada wartel.
Bahkan kalaupun kamu kebetulan bawa ponsel, tetap saja tak ada hal berguna yang bisa dilakukannya selain dilempar sebagai rongsokan usang. Karena tak ada sedikitpun juga sinyal kehidupan di titik nol kilometer. Jadi, sampai baterai ponsel kamu kosong, silakan bersumpah serapah sampai puas. Dan nanti saat kehabisan suara, kamu bisa duduk manis, menikmati alunan rekaman musik, iklan, dan serial pendek yang terekam dalam ponsel kamu. Mencoba mencecap sedikit kenikmatan hidup yang seketika terasa begitu mahal dan langka, karena kini hanya tinggal berumur sekian jam saja.
Dalam situasi yang nyaris membuat gila seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan selain belajar bicara? Jadi memang itulah cara yang dilakukan semua orang yang tersesat di titik nol kilometer ini demi mengisi hampa.
Dimulai dengan mencoba memecah es keheningan yang dingin dan licin, menggunakan satu sapaan sederhana. Kemudian dilanjutkan dengan sejumlah sesi tanya jawab. Setelah beberapa jam melayang, voila! setiap jiwa yang tersesat ini mendadak merasa punya teman senasib sepenanggungan.
Lalu mereka pun mulai berburu makanan bersama. Bahu-membahu mempelajari tumbuhan mana yang bisa dimakan, menyiapkan jebakan, mengumpulkan kayu bakar untuk menyulut api unggun, mematok tenda sederhana dari dedaunan.
Merasa aman.
******
Waktupun menguap ke udara.
Sebagian orang telah sukses beradaptasi. Sebagian orang yang sudah merasa kelewat nyaman, bahkan sampai mendirikan pondok permanen dan mencoba menyambung hidup dengan bercocok tanam. Mereka tebasi dedaunan lebar yang menghalangi sinar matahari selama ini. Dengan rajinnya, mereka bolak-balik tanah, agar gembur. Tak lupa mereka sirami setiap benih agar nantinya bisa tumbuh subur.
Yang membuat orang-orang ini belajar untuk kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Sekaligus juga belajar untuk kembali punya ambisi, agar bisa makan sesuap mimpi waktu panen nanti.
Tak hanya itu, mereka juga menikahi satu sama lain. Dan setelah melewati sejumlah pesta pernikahan dan perayaan kelahiran bayi, kamu mulai berpikir bahwa kehidupan kembali bernafas di titik nol kilometer. Meski denyutnya masih kelewat lemah, tapi toh setidaknya sudah cukup stabil. Dan kamu mulai punya gagasan, bahwa mungkin, mungkin orang-orang ini tak lagi perlu diselamatkan.
Toh bertahun-tahun telah lewat. Toh mereka juga kini sudah tampak bahagia dan menikmati kehidupan mereka yang sekarang. Toh mereka juga mungkin sudah terlupakan, terhapus dari kenangan semua orang yang ditinggalkan. Jadi buat apa repot-repot menghubungi polisi dan regu penyelamat?
*****
Well, kabar baiknya adalah, kamu bukan yang pertama punya gagasan cemerlang itu, percayalah. Tapi kabar buruknya adalah, bahwa kamu salah. Kamu sama sekali salah.
Karena jauh di belantara pikiran dan keinginan mereka, orang-orang yang tersesat ini tetap rindu untuk pulang. Pada masakan Ibu yang masih hangat. Pada empuknya kasur. Pada nikmatnya membasuh diri di bawah pancuran.
Pada pelukan yang telah bertahun-tahun diakrabi bahu, lengan, dan dada sesak mereka yang resah. Pada ciuman mendamaikan di petang sepulang kantor. Pada cinta dari orang-orang terkasih, yang telah mereka tinggalkan. Pada dunia kumal dan usang, yang meski terus-menerus berputar pada porosnya yang aus dan karatan, ternyata tetap menjadi satu-satunya tempat yang paling ideal untuk sebuah bentuk kehidupan.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran, orang-orang yang tersesat ini sadar sepenuhnya bahwa mereka hanya berpura-pura betapa kehidupan mereka kembali berputar seperti sebagaimana mestinya. Ya, mereka kembali bekerja. Ya, mereka kembali punya keluarga. Tapi betapa suami dan istri yang telah mereka nikahi ini tetap saja orang-orang asing. Bahwa pada dasarnya, diantara mereka hanyalah ada dua persamaan. Kebutuhan akan seks dan ketakutan akan ditinggalkan sendirian.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang ini tahu pasti rasanya hampa. Betapa pahitnya mencoba untuk tersenyum dan mengaku bahwa diri mereka baik-baik saja. Seperti satu ekspresi kaku dari topeng yang dipaku permanen di wajahmu. Dimana kamu masih bisa merasakan ujung-ujung paku yang karatan menggoresi bibir dan tulang pipi.
Sama getirnya dengan mencoba terdengar riang. Seolah-olah ada kaset lama yang diputar berulang-ulang di dalam kepalamu. Dimana pita kaset mulai keriting dan setiap 3 menit mengeluarkan suara melengking yang membuatmu seketika ingin mengiris-iris kuping.
Maka, jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang inipun mulai bermimpi untuk mati. Betapa setiap malam, mereka akan pergi tidur dengan harapan agar tak terbangun lagi keesokan pagi.
Karena jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, ada gema yang berjalan mondar-mandir. Terus-menerus berujar dan mencacat betapa titik nol kilometer bahkan tidak pernah terdaftar di skala ordinat peta kehidupan. Betapa semua orang di dunia normal menggunjingkannya, membuat asumsi, melakukan penelitian, menulis buku, membuat film, membuat talkshow.
Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Tak pernah ada bukti otentik. Tak pernah ada petunjuk spesifik. Titik nol kilometer adalah satu titik kehidupan yang tak teridentifikasi.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran orang-orang yang tersesat ini, diantara setiap jalinan cabang yang demikian rumitnya, mereka sadar bahwa kali ini, harapan sungguh-sungguh telah pergi.
Dan bahwa di titik nol kilometer, mereka semua, tersesat selamanya.
Tanpa pernah bisa kembali lagi.